Menelisik Konflik dan Perbedaan Pandangan di Tubuh PBNU

 

Gambar hanyalah pemanis buatan dibuat AI

ketakketikmustopa.com, Sejak berdiri pada 1926, NU lahir bukan sebagai organisasi yang seragam, tetapi sebagai rumah besar yang dihuni para pemikir, pejuang, dan ulama dengan pandangan yang berbeda-beda. Dari luar, NU tampak tenang. Namun di dalamnya, denyut perdebatan selalu hidup—seperti api kecil yang menjaga bara perjuangan tetap menyala.

Pada masa awal berdiri,  perbedaan itu muncul halus. Kiai-kiai sepuh ingin NU tetap seperti langgar kampung: sederhana, dekat dengan tradisi, menjaga amaliyah para leluhur. Sementara generasi muda menginginkan pembaruan: madrasah modern, manajemen rapi, dan kerja sosial yang terukur. Perdebatan itu tidak pernah menjadi perang, tetapi menjadi akar kuat yang membentuk karakter NU: berbeda pendapat, tetapi tetap menjaga adab.

Pada tahun 1952, NU membuat keputusan besar. Karena merasa diabaikan dalam Masyumi, NU memilih jalan sendiri. Partai NU lahir. Sejak itulah dinamika internal semakin tajam, karena setiap langkah keagamaan berkelindan dengan strategi politik. Itulah momentum ketika konflik NU menjadi semakin tegas: NU bisa menerima perbedaan, tetapi tidak akan membiarkan marwahnya diinjak.

Era KH Idham Chalid kemudian menjadi babak penting. Sosok kuat, cerdas, dan sulit digoyang. Di bawahnya, NU memiliki pengaruh besar di panggung nasional. Namun kekuatan itu juga menimbulkan kegelisahan. NU dianggap terlalu sibuk dengan politik, terlalu jauh dari napas pesantren. Ketika Orde Baru melebur partai-partai pada 1973, identitas NU seolah tenggelam. Maka lahirlah seruan “Kembali ke Khittah,” tanda bahwa NU tidak akan membiarkan dirinya hilang.

Ledakan heroik terjadi lagi pada Muktamar Situbondo 1984. Para kiai secara damai mengembalikan NU ke Khittah 1926 dan melahirkan pemimpin baru yang kelak mengguncang republik: KH. Abdurrahman Wahid yang biasa kita kenal Gusdur. Di tangan Gus Dur inilah, NU tampil gagah, berani bersuara, dan tak bisa didikte kekuasaan. Ketika Orde Baru mencoba mengaturnya melalui calon tandingan pada 1994, sejarah menunjukkan sisi kepahlawanan NU: Gus Dur menang telak, menolak tunduk pada tekanan—sebuah kemenangan moral yang dikenang hingga hari ini.

Setelah Gus Dur, berbagai faksi muncul. Ada yang mendekat ke pemerintah, ada yang ingin menjaga jarak, ada yang mengejar program, dan ada yang setia pada tradisi. Semakin banyak pandangan, semakin besar pula konflik. Namun begitulah NU: dinamika bukan tanda kehancuran, tetapi bukti bahwa NU selalu hidup.

Di ujung tahun 2025 ini, NU membuka episode baru. Syuriah memecat Ketua Umum, dan Ketua Umum menolak keputusan itu. NU kembali terbelah. Publik bertanya-tanya: kapan NU benar-benar damai?

Jawabannya mungkin justru inilah: NU adalah organisasi besar yang selalu diuji oleh perbedaan. Konflik bukan kelemahan, melainkan medan tempur moral untuk mengukur seberapa besar keikhlasan para pemimpinnya. Bila amanah lebih diutamakan daripada ambisi, maka NU akan tetap kokoh. Bila tidak, NU akan diuji lebih keras.

Pada akhirnya, kekuatan NU tidak pernah datang dari kursi atau jabatan. Kekuatan itu datang dari keikhlasan kiai-kiai sepuh, dari doa para santri, dan dari jutaan jamaah yang berharap NU tetap menjadi rumah amanah. Konflik boleh datang berkali-kali, tetapi NU selalu berdiri kembali—karena ruh perjuangan yang ditanam para masyayikh tidak pernah padam.

NU mungkin membawa DNA konflik, tetapi ia juga membawa DNA keikhlasan, keteguhan, dan keberanian. Dan selama tiga hal itu tetap hidup, NU akan selalu menjadi penjaga martabat umat dan penerus warisan para ulama.

Wiallohu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar