Nasib Guru Mengaji Pahlawan Tanpa Panggung

 

Gambar hanyalah pemanis tampilan dibuat oleh AI

ketakketikmustopa.com, Belakangan ini, ucapan Selamat Hari Guru Nasional memenuhi jagat media sosial. Foto-foto hadiah, parcel, karangan bunga, dan ungkapan terima kasih dari para siswa begitu ramai dibagikan. Banyak guru yang tersenyum bangga, dihormati, dan disyukuri jasanya. Dan itu memang pantas.

Namun di balik hiruk pikuk itu, ada satu sosok yang hampir selalu luput dari sorotan: guru ngaji. Mungkin jumlahnya ratusan ribu  guru mengaji kalau ditelusuri.

Guru yang mengajari kita mengeja huruf-huruf hijaiyah pertama kali. Guru yang memperkenalkan kita pada “alif, ba, ta,” sebelum kita paham apa itu matematika atau IPA. Guru yang mengajarkan akhlak sebelum kita tahu arti prestasi. Guru yang menjadi jembatan awal menuju pemahaman Al-Qur’an, tetapi namanya jarang terucap ketika Hari Guru tiba.

Di sebuah surau kecil di desa terpencil, seorang guru mengaji masih setia duduk di atas tikar pandan yang mulai menipis. Setiap ba’da Maghrib, ia memulai pelajaran dengan metode Baghdadi untuk sekitar 10 anak SD kelas 4 hingga 6. Suaranya lembut, namun tegas. Tangan keriputnya sabar menuntun anak-anak mengenal harakat, makhraj, dan bunyi huruf yang benar.

Saat anak-anak SD selesai, datanglah anak-anak SMP. Ia kembali membimbing mereka membaca Al-Qur’an, memperbaiki panjang pendek bacaan, dan menguatkan hafalan. Meski letih, wajahnya tetap teduh, seakan lelah itu justru menjadi ibadah yang menenangkan hati.

Ba’da Isya, guru ngaji itu tak berhenti. Ia melanjutkan mengajar kitab kuning: mulai dari fikih Safinatun Najah, Fathul Qarib, hingga ilmu alat seperti Awamil, Jurumiyah, dan Imriti. Semuanya diajarkan dengan kesabaran yang tak ternilai, meskipun ia mengajar seorang diri tanpa asistensi, tanpa administrasi, tanpa kelengkapan modern.

Tak pernah sekali pun ia menyebut soal tunjangan. Tak pernah berharap sertifikasi. Apalagi PPPK. Yang ia inginkan hanya satu: agar cahaya Al-Qur’an tetap hidup di dada anak-anak desa itu.

Namun bukankah sudah saatnya negara dan masyarakat melihat mereka?

Bukankah mereka juga guru yang mengajar ilmu dasar akhirat?

Bukankah mereka layak mendapatkan perhatian, dukungan, dan penghargaan yang lebih manusiawi?

Guru ngaji bukan sekadar pengajar. Mereka adalah penjaga cahaya. Penjaga moral. Penjaga adab. Mereka menyalakan iman pada generasi yang belum mengerti apa itu dunia, tetapi kelak akan memikul tanggung jawabnya.

Maka pada momen ini, izinkan kami mengucapkan:

"Selamat Hari Guru (Mengaji)"

Semoga Allah memberi pahala yang tak terhingga, mengganti segala peluh dengan kebaikan yang abadi.


Wallāhu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar