Menjaga Marwah Organisasi NU, di Tengah Riak Konflik


ketakketikmustopa,com, Dinamika yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belakangan ini membuat banyak kalangan—mulai dari kiai kampung hingga para pengurus wilayah—menghela napas panjang. 

Ada drama yang bergulir dengan cepat, meluap dari ruang-ruang internal ke seluruh penjuru ruang publik. Semua berawal dari persoalan yang tampak sederhana, namun menyimpan kerumitan yang tidak bisa diremehkan: polemik undangan AKN, isu audit keuangan, serta munculnya faksi-faksi baru yang saling berebut pengaruh menjelang Muktamar NU ke-35.

Isu ini memuncak ketika peran strategis dua figur penting PBNU tiba-tiba mencuat ke hadapan publik: Sekretaris Jenderal PBNU Saefullah Yusuf dan Bendahara Umum PBNU Gudian Arif. Nama keduanya mendadak menjadi pusat bola panas, memantik berbagai persepsi dan spekulasi.

Saefullah Yusuf disebut-sebut menjadi aktor kunci dari berbagai pertemuan penting yang membahas arah organisasi, rapat-rapat yang konon berlangsung tanpa melibatkan Ketua Umum PBNU. Padahal, dalam tradisi panjang NU, Sekjen adalah pelaksana teknis organisasi, bukan pengambil keputusan strategis. 

Ketidakhadiran Ketua Umum dalam berbagai pertemuan itu memunculkan tanda tanya besar: apakah ini sinyal adanya gerakan yang bekerja di belakang panggung?

Di sisi lain, Bendahara Umum Gudian Arif dikabarkan memiliki akses penuh terhadap dokumen keuangan, laporan audit, dan data-data sensitif lainnya. 

Keberadaan dokumen yang begitu vital di bawah kontrol satu orang memunculkan kekhawatiran bahwa ada potensi kooptasi atau bahkan manipulasi agenda organisasi melalui pintu keuangan.

Drama semakin meruncing ketika muncul kisah yang membuat banyak kiai hanya bisa tersenyum getir: Rais Aam KH. Miftahul Ahyar menerima AUP (Agreed Upon Procedure) audit keuangan PBNU, yang disebut-sebut sudah “selesai” dan kemudian langsung ditandatangani. 

Padahal, secara prosedural, AUP seharusnya disusun, dibahas, dan disepakati dalam rapat resmi yang melibatkan Ketua Umum PBNU, sebagai pemegang mandat tertinggi struktural di bawah Rais Aam.

Jika dokumen strategis seperti AUP bisa muncul tanpa pembahasan formal, tanpa rapat resmi, dan tanpa tanda tangan Ketua Umum, maka wajar bila banyak pihak terguncang. Ada yang bertanya, apakah Rais Aam mengetahui seluruh konteks dokumen itu? Apakah beliau dijelaskan prosesnya? Atau justru dokumen itu disodorkan dalam keadaan sudah “final,” tanpa ruang diskusi?

Tidak berhenti sampai di situ. Muncul isu lain yang tidak kalah panas: Rais Aam disebut akan mengangkat Sekjen Saefullah Yusuf sebagai figur baru dalam posisi strategis, yang secara politis dapat menggeser kewenangan Ketua Umum. Tentu saja kabar ini langsung memicu pertanyaan besar di kalangan nahdliyin:

— Atas dasar apa pengangkatan itu dilakukan?

— Melalui mekanisme apa?

— Mengapa Sekjen yang muncul, bukan Ketua Umum yang memegang mandat Muktamar?

— Dan yang paling penting: apakah langkah itu sesuai dengan AD/ART NU?

Kegelisahan ini bukan tanpa alasan. NU adalah organisasi dengan tradisi panjang, dengan sistem kepemimpinan yang tidak bisa digeser hanya karena dinamika sesaat atau manuver politik jangka pendek. 

Apabila pada hari ini seorang Ketua Umum PBNU bisa digeser hanya melalui keputusan internal tanpa mekanisme Muktamar, maka besok bisa terjadi preseden yang jauh lebih berbahaya. Ketua Umum dapat diganti kapan saja. 

Seseorang bisa diangkat sebagai Plt hanya karena kedekatan politik. Dan gerakan dari luar—baik politik maupun kepentingan tertentu—bisa dengan mudah menyusup dan memporak-porandakan struktur Jam’iyah NU.

Di sinilah akar kegelisahan para kiai. Mereka tidak sedang mempertanyakan sosok tertentu—tidak pro si A atau anti si B. Tetapi mereka mempertanyakan sistem. Mereka sedang menjaga marwah Jam’iyah. Karena NU yang sudah  satu abad berdiri ini bukan hanya besar karena jumlah warganya, tetapi karena tata kelola, adab organisasi, dan warisan manhaj yang diturunkan para muassis.

Persoalan ini bukan tentang dukungan politik. Bukan tentang siapa yang disukai siapa. Bukan tentang rebutan kursi.

Ini tentang menjaga NU dari kerusakan administratif, menjaga agar tidak ada mekanisme yang dilompati, menjaga agar keputusan tertinggi NU tetap berada di tangan Muktamar, bukan pada manuver beberapa orang yang tergesa-gesa menjelang akhir masa jabatan.

Lantas, kenapa harus tergesa-gesa Muktamar NU ke-35 tinggal beberapa bulan lagi. Forum yang sah, yang demokratis, yang berwibawa, sudah menunggu. Di sanalah semua persoalan bisa dibahas, diputuskan, dan dipulihkan dengan cara yang bermartabat.

Mengapa tidak bersabar sejenak? Mengapa harus membuat kegaduhan? Apa yang sebenarnya begitu mendesak hingga harus mengguncang stabilitas NU?

Pada akhirnya, yang dibutuhkan NU saat ini bukan adu narasi atau saling menuding. Yang dibutuhkan adalah ketenangan, kebijaksanaan, dan komitmen menjaga tatanan organisasi.

Karena menjaga NU berarti menjaga rumah besar umat. Rumah yang selama ini mengayomi jutaan jamaah, menjadi penopang bangsa, dan menjadi benteng moral masyarakat.

Jika rumah ini goyah karena ambisi segelintir orang, maka yang rugi bukan hanya para pengurus, tetapi seluruh umat yang menjadikan NU sebagai tempat bernaung.

Saatnya kembali ke prinsip dasar NU: tasamuh, tawazun, tawasuth, dan i’tidal.

Menjaga keseimbangan, menjunjung adab, dan mengutamakan mekanisme Muktamar sebagai panglima tertinggi organisasi.

Karena sejatinya, NU bukan milik individu, bukan milik kelompok, tetapi milik umat dan bangsa.

Wallou a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar