Gambar hanyalah pemanis tampilan
ketakketikmustopa.com, Bagi masyarakat Muslim Indonesia, perayaan Idulfitri bukanlah akhir dari seluruh rangkaian spiritual Ramadhan. Setelah gema takbir merayakan 1 Syawal dan suasana hangat saling bermaafan antar kerabat, datanglah satu tradisi khas yang menjadi bagian penting dari kehidupan budaya Muslim Nusantara: Lebaran Ketupat. Tradisi ini umumnya dirayakan kalangan pesantren pada tanggal 8 Syawal, atau tepat sepekan setelah Idulfitri. Di hari itu, masyarakat kembali berkumpul, menyajikan ketupat beserta lauk pauk khas, dan menjadikan momen tersebut sebagai bentuk lanjutan dari refleksi spiritual, penguatan silaturahmi, serta penghormatan terhadap nilai-nilai kultural warisan leluhur[1].
Di berbagai daerah, Lebaran Ketupat memiliki kekhasan masing-masing. Di Pulau Jawa, khususnya di lingkungan Nahdliyyin dan masyarakat pedesaan, Lebaran Ketupat dijadikan ajang kenduri, pembacaan doa bersama, hingga ziarah ke makam leluhur. Di Madura dan Sumenep, masyarakat menyebut tradisi ini dengan nama Tellasan Topa, yang berarti perayaan setelah berpuasa. Di Lombok, dikenal dengan istilah Lebaran Topat, yang dirayakan secara meriah dengan doa bersama di pesisir pantai, membagikan makanan kepada sesama, dan menikmati alam terbuka bersama keluarga[2]. Bahkan di Kalimantan dan daerah pesisir Sumatera, ketupat dibagikan ke masyarakat miskin sebagai bentuk sedekah dan rasa syukur setelah Ramadhan.
Secara simbolis, ketupat bukanlah sekadar makanan berbahan dasar beras. Dalam budaya Jawa, kata ketupat dimaknai sebagai akronim dari dua frasa: ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat laku). Ngaku lepat mengandung nilai etis dalam Islam: kesadaran akan dosa dan permohonan maaf, baik kepada Tuhan maupun sesama manusia. Sedangkan laku papat merujuk pada empat amalan utama yang mengiringi bulan Ramadhan, yaitu: puasa Ramadhan, salat Idulfitri, puasa Syawal, dan Lebaran Ketupat itu sendiri[3].
Bentuk ketupat yang dibungkus janur kelapa dengan pola anyaman rumit melambangkan kerumitan hidup manusia, penuh dengan kesalahan dan dosa. Sementara itu, isi ketupat berupa nasi putih yang padat dan bersih menggambarkan hati yang suci setelah ditempa puasa dan ibadah sepanjang Ramadhan. Dalam hal ini, ketupat menjadi simbolisasi dari perjalanan spiritual seorang Muslim menuju kesalehan pribadi dan sosial[4].
Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin sangat menghargai budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan syariat. Maka tidak mengherankan jika para ulama di Nusantara justru menyambut baik tradisi Lebaran Ketupat sebagai sarana dakwah kultural. Ketupat dibagikan kepada tetangga, anak yatim, dan fakir miskin sebagai bentuk kepedulian dan implementasi nilai ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah. Tradisi ini bahkan menjadi momen untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah secara halus melalui simbol makanan dan kebersamaan[5].
Di tengah modernitas dan perubahan gaya hidup masyarakat urban, tradisi Lebaran Ketupat tetap bertahan dan bahkan mengalami transformasi. Di beberapa tempat, ia dipadukan dengan kegiatan sosial seperti bazar, lomba budaya, festival kuliner, hingga aksi bersih-bersih lingkungan. Namun, esensinya tetap sama: merawat persaudaraan, memperkuat nilai kebersamaan, dan menjadikan ketupat bukan hanya sajian lezat, tetapi juga media spiritual dan kultural untuk terus menjaga harmoni antara agama dan budaya.
Lebaran Ketupat pada akhirnya menjadi bukti bahwa Islam di Indonesia memiliki karakteristik khas: akulturatif, toleran, dan penuh kearifan lokal. Dalam balutan janur dan nasi, tersimpan pesan-pesan keislaman yang luhur: tentang tobat, pemaafan, penyucian diri, dan solidaritas sosial. Maka, tradisi ini bukan hanya patut dilestarikan, tetapi juga dikontekstualisasikan secara lebih luas sebagai salah satu warisan budaya Islam Nusantara yang mendalam dan menyentuh.
Wallohu a'lam
Catatan Kaki
[1]: Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2006.
[2]: Rachmat, Wahyudi. Tradisi Islam di Nusantara: Kajian Etnografi dan Kultural. Yogyakarta: LKiS, 2013.
[3]: Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
[4]: Sunoto. Islam dan Budaya Jawa: Relasi dan Interaksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
[5]: Zainuddin, Ahmad. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 2016.
Daftar Pustaka:
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2006.
Rachmat, Wahyudi. Tradisi Islam di Nusantara: Kajian Etnografi dan Kultural. Yogyakarta: LKiS, 2013.
Sunoto. Islam dan Budaya Jawa: Relasi dan Interaksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Zainuddin, Ahmad. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar