Gambar ilustrasi imajinasi universitas masa depan, hanya pemanis tampilan
Ketakketikmustopa.com. Perguruan
tinggi kini mengalami banyak perubahan signifikan, baik dalam bentuk fisik
maupun status kelembagaan. Di berbagai daerah, banyak sekolah tinggi yang
bermetamorfosis menjadi institut atau universitas. Misalnya, di Cirebon, STAIMA
kini menjadi IPEBA, STAI BBC berubah menjadi UIBBC, IAIN Syekh Nurjati Cirebon
menjadi UIN SSC, dan IAIC menjadi UIC. Transformasi ini menunjukkan langkah
maju dalam dunia pendidikan tinggi, tetapi seharusnya tidak hanya berhenti pada
perubahan nomenklatur saja. Sejatinya perubagan itu mencakup cara pandang, pola
pikir, dan kualitas sumber daya manusia, baik mahasiswa maupun dosen
Perguruan
tinggi sering dipandang sebagai ruang akademik yang berfungsi sebagai wadah
munculnya gagasan, ide, dialektika pemikiran, dan kebebasan berekspresi dalam
bingkai tanggung jawab moral. Namun, dinamika yang ada juga mengungkap
tantangan yang perlu diperhatikan lebih serius. Dalam banyak kasus, sistem
kampus cenderung mendorong individu untuk mengejar pencapaian pribadi daripada
membangun kerja kolektif. Fenomena ini dapat menciptakan ruang sunyi yang minim
kolaborasi, di mana kampus satu dengan yang lain lebih sering melihat kompetisi
daripada peluang kemitraan.
Henri
Lefebvre, seorang filsuf dan sosiolog, mengemukakan bahwa ruang sosial adalah
hasil produksi sosial yang mencerminkan relasi kuasa yang dipengaruhi oleh
kekuatan ekonomi dan politik.
Lefebvre
mengklasifikasikan ruang sosial dalam tiga dimensi:
1. Ruang Representasi
Dimaknai
sebagai tempat interaksi dan penciptaan makna dalam kehidupan sehari-hari. Di
konteks perguruan tinggi, ini adalah ruang di mana mahasiswa dan dosen bertukar
ide, mengembangkan pemikiran, dan menciptakan kolaborasi akademik serta sosial.
2. Ruang yang Dirancang
Ruang ini
mencerminkan kepentingan dominan melalui kebijakan atau rancangan fisik kampus.
Kebijakan akademik, fasilitas kampus, dan tata kelola kelembagaan sering kali
mencerminkan visi dan misi universitas.
3. Ruang Praktik Spasial
Merujuk pada
bagaimana individu menggunakan ruang dalam keseharian mereka, baik dalam
kegiatan belajar, penelitian, maupun aktivitas sosial di dalam dan luar kampus.
Ketiga
dimensi ini saling berkaitan dan seharusnya menjadi dasar dalam merancang
kebijakan kampus yang inklusif dan memberdayakan. Alih-alih menciptakan
alienasi, kampus dapat menjadi ruang sosial yang dinamis dan kolaboratif.
Menghidupkan Ruh Kampus: Tri Dharma Perguruan Tinggi
Agar kampus bisa
menjadi ruang social yang memunculkan gagasan, maka ruh perguruan tingginya
harus benar-benar dilaksanakan, yaitu Tri Dharma Perguruan Tinggi harus
tetap menjadi prioritas utama. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat harus dikembangkan secara seimbang. Beberapa langkah konkret untuk
mewujudkan Thri Dharma Perguruan Tnggi bisa terlaksana antara lain:
1. Mendukung Kegiatan UKM
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) adalah salah satu wadah
utama pengembangan kreativitas dan kolaborasi. Kampus perlu memastikan kegiatan
UKM berjalan aktif sebagai sarana interaksi sosial dan pembelajaran di luar
kelas.
2.
Peningkatan Publikasi Akademik
Dosen diharapkan lebih produktif dalam menghasilkan
jurnal internasional bereputasi, buku ilmiah, dan karya-karya yang relevan
dengan perkembangan zaman.
3.
Akses Penelitian dan Inovasi
Hasil penelitian dosen dan mahasiswa perlu
didesiminasikan secara luas agar dapat diakses oleh publik. Dengan demikian,
kampus tidak hanya menjadi pusat akademik, tetapi juga pusat solusi sosial dan
solusi gagasan.
Ruang Sosial Kreatif: Kolaborasi, Inovasi, dan
Komunitas
Perguruan
tinggi yang hebat adalah kampus yang menciptakan ekosistem sosial di mana
mahasiswa, dosen, dan seluruh civitas akademika dapat berkembang bersama.
Kreativitas dan inovasi perlu menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya
kampus.
Ketika
mahasiswa dan dosen saling mendukung, menghasilkan karya-karya akademik yang berdampak,
dan membangun jejaring sosial yang kuat, perguruan tinggi dapat menjadi ruang
sosial yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai
”Katalis Perubahan.”
Dengan model
seperti ini, kampus tidak hanya akan mencetak lulusan yang kompeten di
bidangnya, tetapi juga individu yang mampu berkontribusi secara nyata bagi
masyarakat. Perguruan tinggi sejati adalah ruang yang memberdayakan,
menginspirasi, dan menghidupkan potensi terbaik dalam setiap individu di
dalamnya.
Wallohu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar