Ramadan Mengajarkan Kita Mencurahkan Ide Kreatif Menulis (bagian 2)

 

Gambar ulama dulu sedang menulis diambil dari preefik


ketakketikmustopa.com, Tulisan ini masih melanjutkan tema terdahulu yaitu “Ramadan Mengajarkan Kita Mencurahkan Ide Kreatif Menulis”. Para Ulama dulu memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyampaikan ilmu yang diberikan Allah kepada umatnya. Tanggung jawab inilah menuntut mereka untuk mendokumentasikan ilmu-ilmu yang diberikan Allah Swt kepada umat melalui para guru.

Melacak sejak kapan tradisi menulis dimulai, kita bisa melihat sejarah pada saat perang Badar. Saat itu kaum muslimin menawan 70 orang kaum musyrikin. Agar tawanan perang kaum musyrikin terbebas maka mereka dikenakan tebusan 400 dirham. Sedangkan bagi mereka yang bisa menulis, Rasulullah meminta untuk mengajarkan menulis kepada 10 pemuda Madinag.

Hal ini bukti bahwa dalam Islam, menulis sangat diperhatikan. Tidak lain tujuannya adalah agar pemuda-pemuda Madinah bisa menulis serta dapat menyalurkan ilmu-ilmu mereka kepada pemuda lainnya.

Tradisi menulis puncaknya pada masa Khalifah Abbasiyah. Gerakan intelektual terakomodir dan didukung oleh negara sehingga lahirlah tradisi literasi yang semakin kuat dan khazanah keilmuan semakinluas.

Pada masa Khalifah Harun Arrasyid dan puteranya Al-M’mun, kegiatan menulis dan iklim keilmuan begitu digalakan. Pada zaman itu dikenal dengan “Zaman Keemasan Islam” . Pada saat itu para ulama berlomba-lomba menuliskan karya mereka yang dibiayai negara melalui perpustakaan bernama “Baitul Hikmah”. Setelah karya tulisnya selesai menjadi kitab maka kitabnya itu disumbangkan untuk perpustakaan. Diperpustakaan inilah para ulama mempublikasikan hasil penelitian mereka dalam banyak disiplin ilmu.

Diantara ulama yang semangat menulis adalah Abul Wafa Ibnu Aqil Al-Baghdadi (w. 513 H). Beliau pernah menulis sebuah kitab kolosal yang berisi tafsir, fikih, ushul fikih, hikayat, tarikh, dan syair. Kitab tersebut diberi nama “Al-Funun” ini terdiri dari  800 jilid (Kisah Hidup Ulama Rabbani, Abdul Fatah bin Muhammad). Ini hanya sebagian nama ulama yang punya tradisi menulis yang luar biasa, masih ada ribuan ulama dengan karya tulis yang tidak kalah besar dan megahnya.

Quotes yang sangat populer hingga hari ini sebagaimana yang diungkapkan  Hujatul Islam  Imam Al-Ghazali:

“Apabila engkau bukan putra raja atau putra ulama besar, maka menulislah!”

Hendaknya ungkapan di atas bisa menjadi pemantik bagi kita untuk terus belajar menulis, karena menulis merupakan salah satu kegiatan yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Apalagi bila orang tersebut mempunya ide-ide yang bagus untuk dipublikasikan. Menulis bukan sekadar mencurahkan isi hati, tetapi juga pemikiran dan apa yang kita lihat, alami dan rasakan.  Dengan menulis, dunia akan mengenal kita dari buku yang diterbitkan.  Dengan menulis, kita mungkin akan mengubah dunia menjadi lebih baik setidaknya bisa mempengaruhi masyarakat luas.

Semakin hari semakin kesini perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi semakin cepat. Pertumbuhan dan perkembangan lembaga perguruan tinggi, kampus-kampus, sekolah-sekolah, madrasah-madrasah menjamur di mana-mana, masih kurang berfihak pada literasi dan karya tulis.

Nostalgia masa keemasan yang telah diraih oleh Harun Arrasyid dan puteranya Al-Ma’mun nampaknya sulit terwujud. Perpustakaan nyaris sepi lebih asyik nongkrong di Kafe, karya tulis hanya dalam bentuk skripsi, tesis dan disertasi saja itupun karena terpaksa karena tugas negara setelah itu terkunci penuh debu tak pernah dibaca orang, penghargaan terhadap para penulis nyaris nihil karena memang penulis sudah ditempatkan di nomor 18.

Sepirit Ramadan semoga membawa semangat menulis karena memang dahulu para ulama menulis seringnya di bulan Ramadan. Kepada para pemangku kampus hendaklah apapun bentuk aktifitas diabadikan dalam bentuk buku sebagai upaya ikhtiar membangun ide kreatif.


Wallohu a’lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar