Abu Said Abu Khair Seorang Sufi Yang dilupakan

 


ketakketikmustopa.com, Di era sekarang ini sudah agak jarang orang mempelajari dan mendalami Ilmu Tasawuf dan Ilmu Sastera, alasannya kedua ilmu ini bisa mengakibatkan keterbelakangan dan kelambanan peradaban dan kemajuan manusia Padahal kalau kita mau berkaca pada sejarah bahwa Ilmu Tasawuf itu memiliki banyak manfaat, salah satunya dapat menjadi alat untuk menghadapi kehidupan ini.

Pada abad kedua hijriyah, Tasawuf hanya terkenal di Kufah dan Bashrah. Baru pada permulaan abad ketiga, Tasawuf mulai tumbuh dan berkembang secara luas ke kota-kota lain, bahkan hingga ke kota Baghdad. Pada masa itu, esensi Tasawuf terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu Metafisika atau ilmu tentang hal yang gaib.

Kalau kita mau ngintip sedikit saja lobang-lobang pemikiran dan ide-ide dasar para para sufi, pemikiran mereka justeru membuka cakrawala ilmu pengetahuan yang sangat luar biasa ibarat tambang yang tidak lengkung oleh waktu. Kita hanya perlu menggalinya lebih dalam lagi syukur bisa mengelaborasikannya dengan situasi saat ini.

Sejak kecil Abu Said Abu Khair menyenangi karya sastera klasik. Dia menyatakan sebagaimana diungkapkan dalam kitab Asrorut Tauhid yang ditulis salah seorang cucunya bernama Mohammad Ibn Monavvar, sekitar 130 tahun setelah kematiannya, dimana disebutkan dia hafal 30.000 bait syair-syair era jahiliyah. Selain buku Asrorut Tauhid ada lagi buku tentang Abu Said Abu Khair yaitu buku “Ceshidan-e Tam-e Wakt” kira-kira kalau diterjemahkan menjadi “Menyesap Aroma Waktu“ karya Muhammad Ridlo Syafi’i Kadkani.

Buku karya  Ridlo Syafi’i Kadkani ini menceritakan bahwa waktu memiliki arti dan pemahaman personal bagi setiap orang begitu juga bagi perjalanan spiritual. Berbeda dengan para tokoh sufi lainnya Abu Said Abu Khair menjadi seorang sufi setelah mengalami titik  balik dan bertaubat karena masa mudanya yang kelam.

Abu Said justeru sebaliknya ia menempa diri dengan latihan spiritual yang sangat berat di masa belia dengan berkhalwat di tanah yang gersang selama 7 tahun, sehari-hari ia hanya makan seadanya. Bahkan ia bergelantungan dalam sumur gelap sambil mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali. Sampai-sampai banyak orang yang mengiranya gila karena makan rumput liar kering.

Abu Said Abu Khair mengalami titik balik normal setelah mendapatkan pencerahan, makan dan tidur seperti layaknya manusia biasa tidak lagi terlihat seperti sewaktu kehidupan sufi. Siatu hari sewaktu menikmati potongan semangka yang manis seorang bertanya.

“Syekh bagaimana rasa semangka ini dibandingkan dengan rumput liar yang anda makan di gurun?”.

Abu Said Abu Khair  menjawab:

“Tergantung bagaimana kamu memaknai waktu. Jika bisa menyesap aroma waktu dengan sebenarnya. Rumput liar akan lebih nikmat dari semangka ini”.

Dalam kisah yang lain ada seorang pemuda yang hendak berguru kepada Abu said Abu Khair, Ketika lelaki muda itu sampai di rumahnya, Syaikh Abul Khair kedapatan tengah mengaji. Tatkala Syaikh Abul Khair membaca Surat Al-Fatihah, Ada bacaan yang menurut pemuda  ini keliru dalam makhraj huruf. Sehingga ia menilai bahwa Syaikh tersebut kurang fasih dalam membaca ayat al-Qur’an. Sehingga muncullah keraguan dalam dirinya untuk berguru, sebab ia menilai bahwa bagaimana mungkin ia berguru kepada seseorang yang bacaan surat al-Fatihah-nya saja keliru.

Pemuda  itu pergi saja tanpa permisi. Namun, tidak begitu jauh setelah ia keluar dari pekarangan rumah Sang Syaikh, ia langsung dihadang  oleh seekor singa padang pasir yang besar dan buas. Karena disergap oleh rasa takut yang hebat, lelaki muda itu mundur beberapa langkah.

Akan tetapi rupanya di belakang juga sudah hadir seekor singa padang pasir lain yang menghalanginya. Sadar dirinya dalam bahaya yang akut dengan jalan pikiran yang sudah buntu akhirnya lelaki muda tersebut menjerit sekeras-kerasnya.

Sontak Abu Sa’id yang tengah mengaji mendengar teriakan tersebut langsung berlari keluar. Ia menatap kedua ekor singa padang pasir yang buas itu dan berkata pada keduanya:

“Wahai singa, bukankah sudah aku bilang pada kalian jangan pernah kalian mengganggu para tamuku?!.”

Mendengar kata-kata Abu Sa’id Abu Khair kedua singa yang semula terlihat buas itu lalu duduk bersimpuh di hadapan Sang Syaikh.

Sang Sufi Abu Sa’id Abu Khair lalu memberikan elusan-elusan pada telinga kedua singa itu dan menyuruhnya untuk pergi. Melihat kejadian yang demikian lelaki muda itu merasa begitu keheranan.

“Bagaimana Anda dapat menaklukkan singa-singa yang begitu liar itu Syaikh?”, tanyanya.

“Anak muda, aku selama ini sibuk memperhatikan urusan hatiku. Bertahun-tahun aku berupaya menata hati sampai aku tidak sempat menaruh prasangka buruk kepada orang lain. Untuk kesibukan yang ku jalani dalam menaklukkan hati ini, Allah SWT telah menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Termasuk semua binatang buas yang ada di sini dan singa padang pasir yang buas tadi kau lihat, semua tunduk kepadaku,” jelas Abul Khair.

Lelaki muda itu hanya termangu dengan penuh rasa malu. Namun, di sisi yang lain ia begitu terkagum-kagum karomah yang diberikan Allah SWT kepada Syaikh Abu Sa’id.

“Engkau tahu kekuranganmu, wahai anak muda?” kata Abul Khair.

“Tidak wahai guru,” jawab lelaki muda itu.

“Selama ini engkau terlalu disibukan memperhatikan hal-hal yang lahiriah hingga nyaris lupa memperhatikan hatimu sendiri, karena itu engkau takut kepada seluruh alam semesta,” jelas Abu Sa’id. Lelaki muda itu akhirnya mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia memantapkan hati untuk menjadi murid Syaikh Abul Khair.

Karomah Itu Melayani Sesama

Salah satu cerita populer yang dapat menjadi ajaran inspiratif Abu Said Abu Khair bagi kita adalah bagaimana ia memaknai kata “Karomah”. Suatu hari para muridnya sedang membincangkan para tokoh yang punya kekuatan supra natural.

“Si fulan bisa berjalan di atas air dan si fulan itu bahkan bisa terbang, ada juga yang bisa berada di dua tempat pada satu waktu” Abu Said Abu Khair lalu menjawab:

“Itu biasa. Katak saja bisa berjalan di atas air, lalat dan burung bisa terbang, dan setan bisa berada di hati setiap manusia dalam satu waktu” Kata Abu Said lagi:

“Orang yang memiliki karomah sejati adalah ia yang berkhidmat kepada sesama. Ia hadir dan membantu kaum papa di saat dibutuhkan”

Jadi, apakah ajaran tasawuf bertentangan dengan kondisi kemajuan sekarang ini? Ternyata ajaran-ajaran Tasawuf masih sangat relevan kalau diangkat kembali, tentu saja dengan metode dan tafsir yang lebih segar.dan semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah sufi di atas.


Wallohu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar