Masih
di bulan November biasanya bangsa kita memperingati Hari Pahlawan Nasional yang
biasa kita peringati tanggal 10 November, dalam memperingati Hari Pahlawan
Nasional sejatinya kita harus tahu bahwa seorang ulama dari dahulu sampai
sekarang tidak hanya mengajarkan para santri kitab kuning berbagai macam ilmu
agama. Tidak hanya itu saja ternyata para ulama itu sebagai pejuang membebaskan
penderitaan dari penjajah Belanda.
Sebelum
lebih lanjut penulis menyampaikan dulu biografi singkat KH. Amin Sepuh. KH.
Amin bin KH. Arsyad di Mijahan
Plumbon, Cirebon pada hari Jum’at 24 Djulhijjah 1300 H atau bertepatan dengan
1879 M. Ayahnya bernama Kyai Irsyad, kalau ditarik dari silsilahnya, KH. Amin
Sepuh merupakan keturunan dari Syekh Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan
Sunan Gunung Djati. Kyai Irsyad sendiri merupakan cucu dari Ki Jatira dari
pihak ibu. Ki Jatira terkenal sebagai pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin
Cirebon.
Sejak kecil, Amin bin Irsyad sudah menunjukkan bakat sebagai
santri kelana. Ia tekun mengaji kepada ayahandanya dalam ilmu-ilmu agama
dan kanuragan. Pada waktu itu, ilmu kanuragan menjadi bagian penting
dalam bela diri kaum santri, menghadapi jagoan-jagoan lokal dan berjuang
melawan penjajah. Selepas mengaji kepada ayahanda, Amin kecil dipondokkan di
pesantren Sukasari, Plered, Cirebon, bimbingan Kiai Nasuha. Kemudian, Amin
kecil mengaji kepada Kiai Hasan di pesantren Jatisari, Cirebon.
Ia mengaji ke beberapa pesantren, yakni di Pesantren Kaliwungu
Kendal, Pesantren Mangkang Semarang, hingga mengaji di pesantren kawasan Tegal,
asuhan Kiai Ubaidillah. Selepas suntuk mengaji di Jawa Barat dan Jawa Tengah,
Amin bin Irsyad melanjutkan petualangan keilmuan (rihlah ilmiyyah) menuju
kawasan Jawa Timur. Ia mengaji kepada ulama tersohor pada zamannya, yakni
Syaikhona Cholil di Bangkalan, Madura. Amin muda juga mengaji kepada Hadratus
Syaikh Hasyim Asy’ari di Jombang, selepas merampungkan ngaji di Pesantren
Bangkalan. Di Tebu Ireng, Amin muda mengabdi kepada Kiai Hasyim, yang sama-sama
belajar di bawah bimbingan Syaichona Cholil.
Sang Pejuang Mengusir Penjajah
Kiai Amin sepuh mengobarkan semangat juang kepada santri-santrinya. Beliau
menjadi barisan Kiai, yang mendukung perlawanan kaum santri dan pemuda pada 10
Nopember 1945 di Surabaya. Kiai Amin berangkat ke Surabaya bersama Kiai Abbas
Buntet (1879-1946), Kiai Bisri Musthofa (1914-1977), Kiai Wahab Chasbullah
(1888-1971), Kiai Bisri Syansuri (1886-1980) dan beberapa kiai lain, untuk
membantu para santri melawan penjajah. Semangat berkobar para Kiai, setelah
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945,
sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda. Kiai Amin bersama beberapa
santri, melakukan perjalanan darat dengan kereta api menuju Leteh, Rembang,
Jawa Tengah. Bersama rombongan, Kiai Amin bertemu dengan Kiai Bisri Musthofa
untuk menyusun strategi menuju Surabaya. Kiai Amin merupakan salah satu Kiai
yang ditunggu oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, sebelum menetapkan tanggal
pasti penyerbuan santri untuk mengobarkan perang terhadap pasukan NICA di
Surabaya. Ilmu kanuragan yang dimiliki para Kiai digabung dengan keahlian bela
diri, strategi perang, dan semangat juang santri menjadi modal utama para
pemuda melawan penjajah Belanda pada masa awal kemerdekaan. Dalam sebuah kisah
yang diwartakan Kiai Abdul Mujib Ridlwan, putra KH Ridlwan Abdullah (pencipta
lambang jagad NU). Kiai Abdul Mujib mengajukan sebuah pertanyaan dalam sebuah
majelis. “Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi pada 10 Nopember 1945?.
Kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal pada waktu itu rakyat dan
pemuda sudah siap?” tanya Kiai Abdul Mujib. Karena tidak ada yang bisa
menjawab, Kiai Abdul Mujib mengisahkan: “Pada saat itu, Kiai Hasyim Asy’arie
belum mengizinkan kepada para santri melakukan pertempuran. Mengapa tidak
diizinkan? Karena pada waktu itu, Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah
yang datang dari Cirebon untuk menjaga langit Surabaya. Yakni, Kiai Amin Sepuh
Babakan Ciwaringin dan Kiai Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet,” kisah Kiai
Abdul Mujib, sebagaimana ditulis Majalahlangitan.com (11/3/2015).
Pada saat mendengar pasukan Inggris akan mendarat di Surabaya,
Kiai Amin menggelar rapat dengan kiai-kiai lain di kawasan Cirebon. Pertemuan
ini diselenggarakan di kawasan Mijahan, Plumbon, Cirebon. Di antaranya
kiai-kiai yang hadir, yakni Kiai Abbas Abdul Jamil Buntet, KH. Anshory Plered,
Kiai Fathoni dan beberapa ulama lain. Pada pertemuan ini, dibahas beberapa
point penting tentang posisi pesantren menghadapi penjajah dan strategi barisan
santri pada masa awal kemerdekaan. Pertemuan ini, berhasil membuat kesepakatan
di antaranya majelis kiai, bahwa pesantren harus terlibat dalam perjuangan
kemerdekaan. Selepas pertemuan ini, ditindaklanjuti dengan pengiriman laskar
santri ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23. Pasukan
NICA ini dipimpin oleh Brigadir Jendral AWS Mallaby. (NU
Online)
Kiai Amin menjadi pejuang yang menggerakkan santri membela bangsa Indonesia melawan penjajah. Kiai Amin tidak tinggal diam di pesantren, namun terjun langsung untuk mengonsolidasi jaringan santri melawan penjajah di barisan depan. Akibatnya, ketika Agresi Militer Belanda II, pada 1952, pesantren Babakan diserang Belanda. Bangunan pesantren Babakan dibumihanguskan oleh pasukan Belanda, hingga naskah-naskah penting dan kitab-kitab dibakar. Pada masa itu, perjuangan fisik untuk melawan penjajah Belanda masih dalam situasi mencekam. Baru pada 2 tahun kemudian, pada 1954, Kiai Sanusi—murid Kiai Amin Sepuh—kembali dari pengungsian. Kiai Sanusi mulai menata kembali bangunan pondok yang terbakar dan hancur berantakan. Pada 1955, setelah situasi kondusif, Kiai Amin Sepuh kembali ke pesantren Babakan. Di bawah bimbingan Kiai Amin Sepuh, Pesantren Babakan menjadi rujukan para santri untuk belajar khazanah pengetahuan Islam. Santri-santri yang mengaji dan tabarrukan dengan Kiai Amin memenuhi pesantren, hingga dikenal sebagai salah satu pesantren besar di Jawa Barat. Beberapa santri Kiai Amin Sepuh, juga menjadi pengasuh pesantren di daerah masing-masing. Di antaranya: Kang Ayip Muh (Cirebon), KH. Syakur Yasin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH. Syukron Makmun, KH. Amin Halim, KH. Mukhlas, KH. Syarif Hud Yahya dan beberapa santri senior lainnya. Kiai Amin wafat pada 20 Mei 1972/16 Rabi’ul Akhir 1392H, yang disusul oleh Kiai Sanusi pada 1974. Kepemimpinan di pesantren Babakan Ciwaringin dilanjutkan oleh Kiai Fathoni Amin.
Kali ini saya ikut nimbrung. Menikmati tulisan2 renyah disini, lagi. Ringan dan mengalir... Terimakasih, Pak Mus. Sehat selaluuuu 🍃
BalasHapus