Diaspora Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW Di Kecamatan Waled

 

Setiap datang bulan Rabiul Awwal biasanya ramai dengan peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Banyak istilah untuk penyebutan nama hari kelahiran Nabi seperti kata Maulid merupakan isim makan atau kata benda yang menunjukan tempat kelahiran, Maulud merupakan isim maf’ul  yang bermakna sesuatu (atau bayi) yang dilahirkan dan ada juga yang menggunakan kata Milad yang berarti kelahiran.

Di Indonesia, kadang penyebutannya sesuai dialek suku dan bangsa. Di Bosnia menyebutnya Mevlud atau Mevlid, di Afganistan menyebutnya Maulud Sharif, di masyarakat Jawa atau Sunda menyebutnya dengan Muludan, masyarakat Madura menyebutnya dengan Molodan.

Terkait dengan perayaan peringatan Maulid Nabi atau Muludan di berbagai daerah di Indonesia memiliki keragaman yang unik dan berbeda. Seperti yang terjadi di Kecamatan Waled Kabupaten Cirebon memiliki kekhasan yang berbeda di tempat-tempat lain. Dari tahun ke tahun terus berdiaspora atau  berubah dan berkembang.


Malajang Dan Paros: Tradisi Membagi Berkat Yang Sudah Punah

Waktu saya kecil kira-kira tahun 1980-an, sebagian masyarakat di kampung saya (Kecamatan Waled dan Sekitarnya) sudah mentradisi turun temurun kalau ada acara Muludan masyarakat membawa masakan dan makanan ditaruh di piring bahkan puluhan piring dari masing-masing rumah dikumpulkan di tengah-tengah Mushola dan dibacakan Kitab Maulid Addibai (Debaan) ada juga Kitab Maulid AlBarjanji. Setelah pembacaan Maulid  selesai disiapkan daun jati dan dibagikan kepada masyarakat yang hadir untuk diisi nasi dan makanan bahkan ayam bekakak yang sudah dicuir-cuir.

Kenangan indah seperti ini terasa nikmat karena bisa membangun rasa persatuan dan kesatuan. Pada saat itu belum ada plastik maka medianya adalah paros atau daun jati diikat daun kelapa sebagai talinya. Selain itu belum ada minuman soft drink seperti fanta sprite maka kelapa ijo yang sudah dikupas atasnya kemudian dihias bendera uang menjadi pesona indah tersendiri. Tradisi malajang sekarang sudah punah tidak ada lagi.

 

Besek: Berkat Nasi Yang Dirindukan

Sekitar tahun 1985-an pada saat itu sekitar SD kelas 5 kalau ada acara Muludan setelah selesai acara dikasih berkat besek, besek itu sendiri tempat berkat yang dianyam dari bambu.

Ketika ada acara Maulid saya dan adik-adik sepakat tidak makan dulu sebelum bapak pulang acara Muludan karena sudah terbayang besek nasi dan lauk pauknya yang enak membuat nafsu makan bergelora dan juga bukan karena di rumah tidak adamakanan tapi karena ada sensasi nikmat makan nasi besek yang menggoda.

Satu paket besek terbukti mampu mendongkrak nafsu makan, padahal ibu sudah masak lauk. Tapi bagi saya nasi berkat muludan dalam besek terasa lebih gurih dan nikmat. Saya dan adik-adik dengan lahap menyantap terlihat rona bahagia di wajah ayah ibuku meski mereka tidak kebagian nasinya.


Berkat Ember: Berkat Keren Saat Ini

Sekitar tahun 2000-an sistem berkat mulai ada pergeseran dari paros ke besek, dari besek ke plastik kresek untuk memudahkan cara membungkus nasi bahkan daun jati sedikit demi sedikit mulai hilang.  Tradisi seperti Muludan ini terus mengalami diaspora, berubah dan tumbuh berkembang mengikuti zamannya hingga pada kira-kira tahun 2010-an  cara unik di masyarakat Waled mulai berubah dengan ember sekalipun masih pakai ember kecil.

Bagi tamu luar yang pernah ikutan Muludan di desa saya merasa terheran-heran saat melihat acara pembagian berkatnya pakai ember. Nasi putih terlihat lengkap dengan lauknya, kueh snak dan buah-buahan.

Seiring dengan berkembangnya gaya hidup yang semakin modern, nasi berkat pun mengalami diaspora maju dan berkembang sekalipun di kampung plosok desa. Bila dahulu dikemas daun jati dan diikat daun kelapa, lalu beralih ke plastik kresek dan kertas dan beralih lagi ke bahan plastik hingga ember.

Ini tentu saja berdasarkan asas kemanfatan, yang punya acara Muludan menginginkan agar embernya bisa dimanfatkan lagi. Hingga ember pun menjadi pilihan tempat berkat ember yang menarik mengingat penggunaannya yang dialihfungsikan sebagai tempat makanan. Tak pelak, aroma plastik dari ember membaur dengan aroma makanan di dalamnya. 

Berkat sudah menjadi tradisi sebuah acara keislaman baik itu hajatan maupun muludan. Kadang kita tidak ingin repot akan bahan yang akan kita pilih apakah makanan yang sudah matang ataupun makanan yang masih mentah seperti bahan sembako. Seperti pepatah bilang: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” berbagai macam cara penyajian berkat berkat  tidak bisa terlepas dari kultur daerahnya. Terlepas dari lazim apa tidak lazim, penyajian berkat pakai ember besar memang kereeeen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar