Kebetulan pagi itu, mentari begitu cerah menyambut kedatangan para mahasiswa, di depan gerbang Kampus STID Al-Biruni. Dr. Arya Pratama, dosen Manajemen Dakwah dan Psikologi Dakwah yang dikenal intelek dan produktif, dengan segudang karya buku keislaman, sosial, budaya, sastra, dan novel-novelnya, datang mengayuh sepeda kesayangannya.
Namun, tepat di tikungan jalan menuju gerbang kampus, sebuah lubang kecil membuatnya oleng dan… bruk! Sepedanya terjatuh, buku-buku serta berkas-berkas pentingnya berserakan di aspal.
Di saat Arya meringis kesakitan sambil berusaha mengumpulkan buku-buku yang berantakan, seorang mahasiswi cantik berhijab, dengan mata bulat yang memancarkan cahaya, bergegas menghampirinya. Dialah Naila, mahasiswi Komunikasi Penyiaran Dakwah (KPI) semester akhir yang tak pernah absen dari kuliah-kuliah pak Arya dan telah lama diam-diam mengaguminya.
"Bapak tidak apa-apa?"
tanya Naila khawatir sambil membantu memungut buku-buku.
Tangan mereka sempat bersentuhan saat meraih sebuah novel karya Arya sendiri. Ada sengatan kecil yang tak bisa dijelaskan, sebuah percikan yang terasa singkat namun membekas. Pandangan pertama itu, di tengah berserakan buku dan debu jalanan, menjadi awal dari sebuah kisah yang tak terduga.
Sejak insiden itu, interaksi antara pak Arya dan Naila menjadi lebih intens. Naila semakin bersemangat mengikuti kuliah pak Arya, selalu mengajukan pertanyaan cerdas, dan terlibat dalam diskusi yang mendalam. Arya pun sebagai dosen muda tak bisa memungkiri bahwa ia terkesan dengan pemikiran dan semangat Naila. Kedekatan mereka mulai menimbulkan bibit-bibit cinta yang diam-diam tumbuh di hati keduanya.
Datangnya Cemburu Buta
Namun, kebahagiaan mereka terusik dengan kehadiran Melati, seorang mahasiswi dari jurusan lain yang juga menaruh hati pada pak Arya. Namanya Melati, dia tak kalah cantik dengan Naila dan berusaha menarik perhatian sang dosen dengan berbagai cara. Ia seringkali mencari alasan untuk bertemu Arya, bahkan terang-terangan menunjukkan kekagumannya.
Kehadiran Melati ini sontak membuat Naila merasakan cemburu yang amat sangat. Hatinya bergejolak setiap kali melihat Melati mendekati Arya, atau saat mendengar Melati membicarakan Arya dengan nada posesif.
Persaingan tak terhindarkan. Suatu siang, di lorong kampus, terjadi konfrontasi sengit antara Naila dan Melati. Kata-kata tajam terlontar, tuduhan demi tuduhan mewarnai suasana. Kesalahpahaman memuncak hingga nyaris terjadi adu fisik. Untungnya, Bu Dosen Nurul, seorang dosen senior yang bijaksana, segera melerai keributan tersebut. Ia menasihati kedua mahasiswinya tentang pentingnya menjaga etika dan menghormati satu sama lain.
Badai gosip di kampus semakin kencang.
Hubungan Arya dan Naila menjadi buah bibir, bahkan sampai ke telinga petinggi kampus. Akibatnya, Naila harus menghadapi konsekuensi yang berat. Predikat Cumlaude yang sudah di depan mata sempat ditangguhkan. Pihak kampus melakukan investigasi internal, dan Naila harus berjuang keras membuktikan bahwa kedekatannya dengan Arya murni didasari oleh diskusi akademik dan bukan penyalahgunaan wewenang. Naila merasa terpukul, namun Arya tak tinggal diam. Ia membela Naila, menjelaskan situasi sebenarnya, dan menegaskan bahwa Naila adalah mahasiswi berprestasi murni karena kemampuannya.
Di tengah tekanan kampus dan bisikan-bisikan sinis, Arya menunjukkan ketegasannya. Ia tidak menyangkal kedekatannya dengan Naila, namun ia juga tidak memberikan harapan palsu. Ia menghargai Naila sebagai individu yang cerdas dan berpotensi.
Sementara itu, Naila terus menunjukkan kualitas dirinya. Ia membuktikan bahwa prestasinya di akademik bukan semata-mata karena kedekatannya dengan dosen, melainkan hasil kerja keras dan pemikirannya yang tajam, yang semakin mengukuhkan posisinya sebagai mahasiswi berprestasi di STID Al-Biruni.
Mengukir Takdir Cinta
Suatu malam, setelah acara diskusi di kampus, Arya mengajak Naila ke sebuah kedai kopi sederhana di dekat Kampus STID Al-Biruni. Di bawah rembulan yang bersinar samar, Arya menatap Naila dengan tatapan yang lebih dalam dari biasanya.
"Naila," ucapnya pelan,
"kamu adalah mahasiswi yang luar biasa. Pemikiranmu, semangatmu, membuat saya terinspirasi. Tapi, hubungan kita..."
Naila menahan napas, menunggu kelanjutan kalimat Arya.
"...telah melampaui batas antara dosen dan mahasiswa. Saya menyadari, saya tidak bisa lagi menyangkal perasaan ini."
Pengakuan Arya bagai oase di tengah gurun pasir. Naila merasakan kebahagiaan yang meluap-luap. Namun, ia juga sadar, perjuangan mereka baru saja dimulai. Mereka harus menghadapi berbagai rintangan, membuktikan bahwa cinta mereka bukan sekadar hubungan yang tidak pantas, tetapi didasari oleh kesamaan visi, intelektualitas, dan rasa saling menghargai yang mendalam.
Perjalanan cinta Arya dan Naila menghadapi persaingan di kampus.
Ketika Arya memberanikan diri mengenalkan Naila kepada keluarganya, sambutan yang diterimanya jauh dari harapan. Orang tua Arya memiliki pandangan konservatif dan meragukan keseriusan hubungan putranya dengan seorang mahasiswi yang jauh lebih muda. Mereka khawatir dengan perbedaan latar belakang dan masa depan Arya sebagai seorang pendidik dan penulis.
Naila merasa terpukul, namun Arya tak menyerah. Dengan kesabaran dan ketulusan, mereka berdua berusaha meyakinkan kedua orang tua Arya. Naila menunjukkan kecerdasannya, sopan santunnya, dan cintanya yang tulus kepada Arya.
Arya pun dengan penuh keyakinan menjelaskan bahwa Naila bukan hanya sekadar mahasiswinya, tetapi juga seorang wanita yang menginspirasinya dan memiliki visi yang sama dengannya.
Setelah melalui berbagai ujian dan rintangan, termasuk penangguhan predikat cumlaude Naila dan restu keluarga Arya yang sulit didapat, akhirnya hati kedua orang tua Arya luluh.
Mereka melihat ketulusan cinta di mata Arya dan Naila, serta potensi besar yang dimiliki Naila. Restu pun diberikan. Arya dan Naila akhirnya mengikat janji suci pernikahan. Cinta yang bersemi di depan gerbang STID Al-Biruni itu, yang diawali dengan sepeda terjatuh dan pandangan pertama yang tak terlupakan, kini berlabuh dalam kebahagiaan abadi.
Mereka terus berkarya dan menginspirasi, dengan cinta sebagai nahkoda dalam mengarungi kehidupan rumah tangga dan karir mereka di dunia dakwah dan literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar