Jika Idul Fitri adalah perayaan kemenangan atas hawa nafsu setelah sebulan penuh menahan lapar, dahaga, dan syahwat, maka kemenangan apa yang dirayakan dalam Idul Adha?
Pertanyaan ini jarang diajukan, bahkan nyaris terlupakan dalam hingar-bingar penyembelihan hewan kurban. Banyak yang mengira bahwa Idul Adha hanyalah tentang daging, kambing, sapi, dan pembagian kepada fakir miskin. Seolah-olah maknanya hanya berhenti pada aspek sosial. Padahal, hakikat Idul Adha jauh melampaui itu.
Idul Adha adalah tentang ketaatan total, penyerahan tanpa syarat, dan keikhlasan yang mutlak. Ia mengajak kita untuk menyelami kembali kisah monumental antara seorang ayah dan anak—kisah Ibrahim dan Ismail—yang bukan hanya menjadi simbol pengorbanan, tetapi juga ujian iman paling agung yang pernah dicatat sejarah manusia.
Bukan Darah yang Dikehendaki, Tapi Taqwa
Allah tidak butuh daging. Tidak pula membutuhkan darah dari hewan yang kita sembelih. Ini ditegaskan secara gamblang dalam Al-Qur’an:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang sampai kepada-Nya.”
(QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini menyentak kesadaran kita bahwa ritual kurban bukanlah tentang persembahan fisik sebagaimana sesajen dalam budaya pagan. Bukan pula sebagai pelampiasan syariat semata. Tapi tentang dimensi batiniah, tentang sejauh mana kita siap tunduk dan taat kepada Allah, bahkan ketika diperintahkan sesuatu yang tampak mustahil secara logika dan menyakitkan secara emosional.
Nabi Ibrahim diuji dengan perintah untuk menyembelih anaknya sendiri. Bayangkan, Ismail adalah anak yang telah lama dinanti, lahir di usia senja, dan menjadi cahaya harapan. Namun justru anak itulah yang diminta untuk dipersembahkan. Bukan harta, bukan unta, bukan rumah, melainkan buah hati. Namun Ibrahim tak ragu. Dan Ismail pun tidak melawan.
“Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)
Inilah momen puncak pengorbanan, bukan karena darah yang tertumpah, tapi karena keikhlasan yang sempurna. Namun pada akhirnya, Allah mengganti Ismail dengan seekor hewan. Maka kurban menjadi simbol, bukan pengganti.
Kemana Ismail? Dan Apakah Kurban Itu Sesajen?
Pertanyaan ini sering muncul, baik dari kalangan awam maupun dari pihak yang kritis: Apakah Nabi Ismail benar-benar disembelih? Jika tidak, ke mana ia? Dan apakah kurban ini tidak seperti sesajen dalam ritual mistik?
Jawabannya jelas dalam Al-Qur’an. Allah menegaskan bahwa penyembelihan Ismail tidak terjadi, karena Allah telah menggantinya sebagai bentuk pengakuan atas ketaatan Nabi Ibrahim dan anaknya.
“Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.”
(QS. Ash-Shaffat: 107)
Ini bukan sekadar narasi sejarah. Ini adalah pelajaran besar bagi umat manusia. Bahwa ketika kita bersedia menyerahkan yang paling kita cintai kepada Allah, justru di situlah Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Maka sesungguhnya, kurban bukanlah ritual berdarah, melainkan ritus spiritual yang menandai kemenangan manusia atas egonya.
Kurban bukan sesajen. Kurban bukan praktik mistis. Kurban adalah ekspresi ketundukan, dan dalam Islam, ibadah tidak pernah dimaknai sebagai pemenuhan kebutuhan Tuhan, tetapi sebagai penempaan jiwa manusia.
Kurban di Era Modern: Apa yang Harus Kita Sembelih?
Kini, ribuan tahun sejak kisah itu terjadi, kita pun diminta menyembelih. Bukan menyembelih anak atau keluarga, tentu. Tapi menyembelih ego, keserakahan, ambisi yang tak terkendali, dan segala sesuatu yang menahan kita dari ketaatan kepada Allah. Mungkin “Ismail” di zaman kita bukan lagi anak semata, tapi bisa berupa jabatan yang kita pertahankan dengan cara curang, harta yang kita kumpulkan tanpa peduli halal-haram, atau cinta yang menjauhkan kita dari nilai-nilai Ilahiyah.
Kita hidup di era di mana pengorbanan dianggap ketinggalan zaman, dan ketundukan dianggap kelemahan. Padahal dalam kisah kurban, kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan pada siapa yang paling berkuasa, tetapi siapa yang paling bisa taat.
Maka, Idul Adha adalah perayaan kemenangan spiritual—kemenangan atas cinta dunia, atas kelekatan terhadap materi, dan atas diri kita sendiri. Dan seperti Ibrahim, kita dihadapkan pada pertanyaan yang sama: Adakah sesuatu dalam hidup ini yang lebih kita cintai daripada Allah? Jika ada, maka itulah yang harus kita “sembelih.”
Penutup: Mari Rayakan Makna, Bukan Sekadar Ritual
Idul Adha bukan hanya tentang penyembelihan hewan, takbir yang menggelegar, atau daging yang dibagikan. Ia adalah ajakan untuk masuk ke dalam ruang paling sunyi dari jiwa kita, untuk bertanya: Sudahkah aku ikhlas? Sudahkah aku tunduk? Sudahkah aku menjadi seperti Ibrahim?
Kemenangan yang kita rayakan dalam Idul Adha adalah kemenangan melawan diri sendiri—sebuah pertarungan paling sulit namun paling mulia.
Maka, mari kita rayakan Idul Adha dengan makna. Dengan tafakur, bukan hanya takbir. Dengan kesadaran spiritual, bukan hanya sosial. Karena hanya dengan itu, Idul Adha benar-benar menjadi hari raya yang mengangkat derajat kemanusiaan kita di hadapan Tuhan.
Wallohu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar