Lemahnya Minat Baca dan Menulis di Kalangan Mahasiswa dan Dosen: Refleksi Hari Buku Tahun 2025



Abstrak

Minat baca dan menulis merupakan fondasi utama dalam membentuk budaya akademik yang unggul. Namun, di kalangan mahasiswa dan dosen di Indonesia, minat baca dan menulis masih tergolong rendah. Artikel ini menganalisis faktor-faktor penyebab lemahnya budaya literasi di perguruan tinggi, dampaknya terhadap kualitas pendidikan, serta menawarkan solusi untuk revitalisasi minat baca dan menulis di kalangan civitas akademika. Melalui refleksi Hari Buku Tahun 2025, diharapkan dapat terbangun kesadaran akan pentingnya peran dosen dalam membangun budaya literasi dan meningkatkan kualitas pendidikan.

Kata Kunci: minat baca, literasi akademik, dosen, mahasiswa, Hari Buku, budaya menulis

Pendahuluan

Hari Buku merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan kondisi budaya literasi di Indonesia, termasuk dunia perguruan tinggi. Dosen sebagai pengajar dan pembimbing ilmiah, tidak hanya dituntut untuk mengajar, tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan budaya literasi di kalangan mahasiswa. Sayangnya, banyak mahasiswa dan dosen yang menghadapi kesulitan dalam meningkatkan minat baca dan menulis yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas pendidikan. Artikel ini mengangkat masalah tersebut, membahas akar penyebabnya, dan menawarkan solusi untuk revitalisasi minat baca dan menulis di kalangan civitas akademika, dalam rangka Hari Buku Tahun 2025.

Rumusan Masalah

1. Mengapa minat baca dan menulis di kalangan mahasiswa dan dosen masih rendah?

2. Apa dampak dari lemahnya budaya literasi ini terhadap kualitas pendidikan tinggi?

3. Bagaimana strategi revitalisasi minat baca dan menulis yang relevan dengan kondisi saat ini?

Hasil dan Pembahasan

1. Akar Permasalahan Minat Baca dan Menulis

a. Digitalisasi yang Tidak Seimbang

Meskipun era digital membuka akses yang luas terhadap informasi, kebiasaan mahasiswa dan dosen lebih banyak mengonsumsi konten yang bersifat instan, seperti informasi dari media sosial dan video pendek. Kebiasaan ini cenderung mengurangi waktu untuk membaca buku atau artikel ilmiah yang membutuhkan konsentrasi dan pemikiran mendalam. Akibatnya, minat baca yang seharusnya menjadi bagian dari kebiasaan akademik, justru tergeser oleh konsumsi informasi yang dangkal dan tidak terstruktur¹.

b. Keterbatasan Fasilitas dan Sumber Daya

Di banyak kampus, terutama di luar kota besar, fasilitas untuk mendukung literasi akademik masih sangat terbatas. Perpustakaan yang kurang lengkap, akses terbatas ke jurnal ilmiah internasional, dan ruang baca yang tidak nyaman menyebabkan mahasiswa dan dosen kesulitan mengembangkan minat baca yang mendalam². Padahal, keberadaan fasilitas tersebut sangat vital untuk mendukung budaya literasi yang baik³.

c. Beban Administratif Dosen

Beban administratif yang tinggi pada dosen seringkali menjadi hambatan untuk fokus pada kegiatan menulis dan penelitian. Tugas-tugas administratif seperti laporan pengajaran, akreditasi, dan sertifikasi sering kali menyita banyak waktu dosen, sehingga aktivitas ilmiah seperti membaca jurnal terbaru atau menulis artikel ilmiah menjadi terpinggirkan⁴. Dosen yang seharusnya menjadi role model dalam kegiatan ilmiah malah terbebani oleh tugas administratif yang semakin membesar.

d. Kurangnya Insentif Akademik

Insentif yang diberikan kepada dosen dan mahasiswa yang aktif dalam menulis ilmiah masih terbilang rendah. Banyak kampus yang belum memiliki sistem penghargaan yang jelas terhadap publikasi ilmiah, baik untuk dosen maupun mahasiswa. Padahal, insentif yang memadai dapat mendorong mahasiswa dan dosen untuk lebih aktif menulis dan berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan⁵.

2. Dampak dari Lemahnya Literasi Akademik

a. Kualitas Akademik yang Rendah

Minat baca dan menulis yang rendah menyebabkan kualitas tugas akhir, artikel ilmiah, dan karya tulis lainnya menjadi kurang maksimal. Mahasiswa yang tidak terbiasa membaca secara kritis akan kesulitan dalam menyusun argumen yang kuat dan berbasis riset⁶. Begitu pula dengan dosen yang tidak terlibat aktif dalam menulis, maka proses pengajaran mereka akan kurang dinamis dan terbatas pada pengajaran teori dasar.

b. Minimnya Publikasi Ilmiah

Kualitas dan kuantitas publikasi ilmiah yang rendah di kalangan dosen menjadi masalah serius. Tanpa adanya karya tulis ilmiah yang memadai, perguruan tinggi akan kesulitan dalam meningkatkan peringkat akademik atau berkontribusi secara signifikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Padahal, publikasi ilmiah merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur kualitas institusi pendidikan tinggi⁷.

c. Lemahnya Budaya Ilmiah di Kampus

Budaya ilmiah yang kurang berkembang di kampus dapat mengurangi daya tarik perguruan tinggi itu sendiri. Ketika membaca dan menulis tidak menjadi bagian dari kehidupan akademik sehari-hari, maka mahasiswa dan dosen tidak akan menganggap penting kegiatan tersebut. Hal ini berdampak pada kualitas diskusi kelas, kegiatan seminar, dan pemahaman mahasiswa terhadap isu-isu ilmiah yang berkembang⁸.

3. Strategi Revitalisasi Literasi Akademik

a. Membangun Ekosistem Literasi di Kampus

Perguruan tinggi perlu menciptakan ekosistem literasi yang mendukung, mulai dari penyediaan ruang baca yang nyaman, akses ke perpustakaan digital, hingga diskusi rutin tentang perkembangan ilmu pengetahuan. Dosen juga harus diberikan pelatihan menulis ilmiah dan mengembangkan kebiasaan membaca jurnal dan buku yang relevan dengan bidang keilmuan mereka⁹.

b. Memberikan Insentif Akademik

Insentif akademik yang jelas dan memadai bagi dosen dan mahasiswa yang aktif menulis harus diperkenalkan. Bentuk insentif ini bisa berupa beasiswa, tunjangan penelitian, penghargaan khusus, atau pengakuan dalam bentuk jabatan struktural. Insentif ini akan memotivasi mereka untuk lebih berkontribusi dalam dunia akademik¹⁰.

c. Kolaborasi Menulis Antara Dosen dan Mahasiswa

Kolaborasi antara dosen dan mahasiswa dalam penulisan karya ilmiah harus diperkuat. Dosen bisa membimbing mahasiswa dalam menulis artikel ilmiah atau menyusun skripsi yang berbasis riset mendalam. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya belajar teori di kelas, tetapi juga mengembangkan kemampuan menulis dan berpikir kritis melalui proyek bersama¹¹.

d. Integrasi Literasi dalam Kurikulum

Literasi harus dijadikan bagian dari setiap mata kuliah. Setiap mata kuliah dapat mencakup tugas membaca artikel ilmiah, menulis esai kritis, atau presentasi berdasarkan bacaan yang telah dipelajari. Dengan demikian, mahasiswa terbiasa untuk tidak hanya mengingat materi, tetapi juga menganalisis dan menyusun pemikiran mereka dalam bentuk tulisan yang sistematis¹².

Kesimpulan

Hari Buku Tahun 2025 memberikan refleksi penting bagi kita untuk menilai sejauh mana dunia pendidikan di Indonesia berkembang. Lemahnya minat baca dan menulis di kalangan mahasiswa dan dosen adalah tantangan yang harus segera diatasi. Tanpa budaya literasi yang kuat, kualitas pendidikan tinggi akan terus mengalami stagnasi. Revitalisasi minat baca dan menulis memerlukan peran aktif dari seluruh elemen kampus, mulai dari pimpinan, dosen, hingga mahasiswa itu sendiri. Dengan membangun ekosistem literasi yang mendukung, memberikan insentif yang layak, serta mendorong kolaborasi menulis antara dosen dan mahasiswa, diharapkan perguruan tinggi Indonesia dapat mengembalikan semangat literasi yang akan meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing global.

Wallohu a'lam 

Referensi

1. Badan Bahasa Kemendikbud. (2023). Indeks Aktivitas Literasi Membaca Indonesia.

2. UNESCO. (2022). Reading the Future: How Reading Habits Shape Learning Outcomes.

3. Zaim, M. (2021). Budaya Akademik dan Tantangan Literasi di Era Digital. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

4. Yamin, M. (2020). Manajemen Literasi Perguruan Tinggi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

5. Nawawi, A. (2022). Peran Insentif dalam Peningkatan Kualitas Penulisan Akademik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

6. Gunawan, A. (2021). Literasi dan Peningkatan Kualitas Pendidikan. Jakarta: Penerbit Buku Ilmiah.

7. Santosa, H. (2020). Publikasi Ilmiah dan Peranannya dalam Pendidikan Tinggi. Bandung: Alfabeta.

8. Suryadi, E. (2021). Budaya Ilmiah dan Tantangan Perguruan Tinggi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.

9. Prasetyo, B. (2021). Peningkatan Literasi di Kampus: Menyongsong Era Digital. Jakarta: Salemba Empat.

10. Kurniawan, A. (2022). Sistem Insentif bagi Penulis Akademik di Perguruan Tinggi. Makassar: Unhas Press.

11. Dewi, P. (2022). Kolaborasi Dosen dan Mahasiswa dalam Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana.

12. Nur, F. (2021). Strategi Integrasi Literasi dalam Kurikulum Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Andi Publisher.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar