Gambar Nexts Generation of Mapalangit Biru
Cerpen kisah nyata Jara.
ketakketikmustopa.com, Pagi itu di sekretariat Mapalangit Biru, suasana seperti biasa: santai, penuh canda, dan sarat aroma kopi serta asap rokok. Beberapa anggota berkumpul, termasuk Wapeng, Nesting, Suket, dan beberapa lainnya. Di sudut ruangan, gitar mengalun lembut, menemani obrolan ringan yang entah bagaimana sampai pada topik serius: apa bedanya Pecinta Alam dan Pegiat Alam?
"Kalau Pecinta Alam itu lebih ke filosofi, Bro," ujar Suket sambil meniup cangkir kopinya. "Mereka mendaki gunung bukan cuma buat pamer, tapi buat merenungi keindahan dan kebesaran Tuhan."
"Tapi kalau Pegiat Alam lebih aktif, lebih ke aksi nyata," timpal Nesting. "Ikut reboisasi, bersihin sampah di gunung, nggak cuma kontemplasi."
Gambar kegiatan sehari-hari saat kumpul diskusi, latihan, pendidikan baca kompas Medan dll.Perdebatan pun berlangsung. Satu per satu menyampaikan argumennya dengan gaya santai tapi penuh semangat. Tak terasa, dari matahari yang baru muncul hingga tepat di atas kepala, mereka masih larut dalam diskusi.
Ketika pembahasan akhirnya selesai hingga waktu dluhur, tiba-tiba muncul seorang anggota baru, Jara, yang wajahnya terlihat sedikit bingung tapi penasaran. Ia duduk di salah satu sudut, menyimak suasana.
"Eh, Jara! Baru nongol nih. Tumben dari mana?" sapa Wapeng.
"Baru kelar kuliah, MK berikutnya dosennya ga ada Pak," jawab Jara. Ia adalah mahasiswa non-reguler yang juga guru Bahasa Arab di madrasah DTA di desanya.
Wapeng pun membuka obrolan, "Ngomong-ngomong, kenapa kamu tertarik kuliah di STID Al-Biruni? Trus, kok bisa kepikiran masuk Mapalangit?"
Jara tersenyum santai. "Ya, pengen tahu aja, Pak. Di Mapalangit kan orang-orangnya unik-unik. Nggak ada bosen-bosennya ngeliatin gaya kalian."
Jawaban Jara membuat semua tertawa kecil. Namun, suasana justru menjadi hangat lagi. Suket dan Nesting mulai menambahkan berbagai pertanyaan. "Kalau naik gunung, kamu udah sampai mana aja, Jara?" tanya Suket sambil menggoda.
"Belum jauh-jauh, Mas. Tapi asyik aja bisa gabung sama kalian," jawab Jara santai, seperti tak tergoyahkan oleh tekanan pertanyaan bertubi-tubi.
Di tengah obrolan itu, Jara tiba-tiba menatap Wapeng. "Pak, saya tuh kayaknya kenal Bapak. Yang dulu saya WA soal mau nyumbang lima buku novel, itu Bapak, kan?"
Wapeng terdiam sejenak, lalu tertawa lepas. "Oh, jadi kamu toh yang WA waktu itu. Kirain mahasiswa lain. Ternyata kamu!"
Jara ikut tertawa. "Iya, Pak. Dikira bapak itu Cupu, ternyata Suhu."
Wapeng langsung membalas dengan gaya khasnya, "Halah, emang kamu kira aku Suhu? Aku ini malah Cupu kok, Neng."
Sekretariat langsung geger dengan tawa. Semua merasa obrolan yang awalnya serius itu ditutup dengan cara yang begitu ringan dan menyenangkan. Di Mapalangit Biru, suasana seperti ini memang tak pernah ada habisnya.
Wapeng ngeleos tanpa permisi, dan anak-anak lanjut maen Nuno bersama Nok Rinjani.
-Tamat-
Jara: mahasiswa kelas non reguler, guru bahasa Arab, anggota Mapalangit Biru
Wapeng: panggilan lapangan @potsuM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar