Kisah Dua Burung: Sawang Sinawang Kehidupan

 

Gambar hanya pemanis tampilan, sedang mengisi Hikam TV

Ketakketikmustopa.com. Pada pengajian Tematik Live Streaming Hikam TV setiap Rabu malam Kamis  yang di isi langsung KH. Lukman Hakim Pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin (27/11/24) kebetulan penulis diberi kesempatan menjadi pendamping mengisi acara tersebut. Dalam acara tersebut penulis mencoba memantik persoalan kehidupan manusia yang oleh Allah dianugerahi akal pikiran sementara makhluk selain manusia seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan lainnya tidak dianugerahi akal pikiran.

Manakala manusia tidak bisa memberdayakan akal pikiran yang Allah titipkan bisa jadi orang tersebut bermetamorfosa menjadi orang-orangan tempatnya juga di tengah-tengah sawah. Orang Sunda menyebutnya “Bebegig”.

Jeruk dititipi oleh Allah SWT Vitamin C, beras atau nasi dititipi oleh Allah SWT karbohidrat begitu juga dengan yang lainnya tidak akan tertukar. Dari dulu sampai sekarang tetap jeruk mengandung Vitamin C dan nasi mengandung karbohidrat.

Kontek manusia “Hayawanun Nathiq’  atau manusia itu adalah hewan yang berfikir sejatinya siapapun tidak hanya berpikir tapi berkreasi memberikan solusi atas persoalan-persoalan kehidupan yang ada. Kalau tidak bisa begitu bisa jadi posisi manusia menjadi bebegig akhirnya, sekalipun demikian masih lumayan tugasnya mengusir burung.

Pernyataan penulis kemudian ditanggapi Kyai Lukman dengan bahasan tentang “Tawakal” bahwa diksi atau kata tawakal selalu saja diiringi dengan kata ikhtiar, usaha, atau upaya setelah itu dipasrahkan kepada Allah SWT. hasilnya seperti apa manusia hanya berkewajiban berusaha atau ikhtiar.

Kang Lukman kemudian memberikan analogi kisah 2 burung. Yang 1 hidup nyaman dalam sangkar dan satunya lagi hidup bebas di alam terbuka

Di sebuah rumah yang asri, hiduplah dua ekor burung yang memiliki kehidupan sangat berbeda. Burung pertama tinggal di dalam sangkar emas milik seorang tuan yang sangat menyayanginya. Setiap hari, burung itu mendapatkan makanan terbaik, air segar, dan perhatian penuh dari majikannya. Bahkan, setiap pagi ia dimandikan dengan lembut, sehingga bulu-bulunya berkilauan indah di bawah sinar matahari.

Burung kedua, sebaliknya, hidup bebas di alam. Ia terbang dari satu pohon ke pohon lain, menikmati angin yang menyapa sayapnya dan matahari yang memanaskan tubuhnya. Ia mencari makan sendiri di ladang, di antara pepohonan, atau di tepi sungai yang bening. Kebebasan adalah miliknya, tetapi kehidupannya tak sepenuhnya mudah. Kadang ia harus terbang jauh mencari makanan, menghadapi angin kencang, atau menghindari burung pemangsa.

Suatu pagi yang cerah, burung bebas itu bertengger di dahan pohon tepat di depan sangkar burung yang terkurung. Ia memperhatikan burung dalam sangkar menikmati biji-bijian yang segar dan air dalam wadah kecil yang jernih.

“Enak sekali hidupmu! Makan tinggal makan, minum tinggal minum. Tidak perlu capek-capek mencari makanan. Majikanmu merawatmu dengan baik.” burung bebas berkata.

Burung dalam sangkar menatap burung bebas dengan mata penuh kerinduan. Ia menjawab,

“Kamu salah kalau berpikir tentang hidupku sepenuhnya enak. Memang, aku tidak perlu khawatir tentang makanan atau minuman, tetapi lihatlah di mana aku berada. Aku terkurung di dalam sangkar ini. Aku tidak bisa terbang bebas seperti kamu, merasakan angin atau melihat dunia di luar. Setiap hari, aku hanya melihat dinding-dinding ini dan taman yang sama.” jawab burung dalam sangkar.

Burung bebas terdiam sejenak. Ia memandang burung dalam sangkar, lalu berkata pelan,

“Tapi kamu aman di situ. Kamu tidak perlu khawatir akan serangan burung pemangsa atau badai yang tiba-tiba datang. Kamu tidak tahu betapa sulitnya terbang jauh saat lapar atau berteduh di tengah hujan lebat.”

Burung dalam sangkar tersenyum pahit.

“Mungkin benar,” katanya.

“Tapi kamu bisa memilih ke mana kamu ingin pergi. Kamu bisa melihat dunia luas yang hanya bisa aku impikan. Kebebasanmu adalah sesuatu yang tidak akan pernah kumiliki, meski aku punya makanan yang cukup dan perlindungan di sini.” kata burung dalam sangkar.

Keduanya terdiam. Mereka saling memandang, merenungkan kehidupan masing-masing. Burung bebas merasa iba pada burung dalam sangkar yang kehilangan kebebasannya, sementara burung dalam sangkar merasa iri pada kebebasan burung yang terbang di luar.

“Begitulah hidup,” kata burung dalam sangkar setelah lama terdiam.

“Kita selalu melihat hidup orang lain seakan-akan lebih baik daripada hidup kita sendiri. Padahal, setiap kehidupan punya kelebihan dan kekurangannya. Sawang sinawang, begitu orang menyebutnya.”

Burung bebas mengangguk pelan.

“Kamu benar,” kata burung bebas.

“Aku melihatmu dengan rasa iri, tapi aku lupa bahwa di balik kenyamananmu, ada kebebasan yang kau korbankan. Begitu juga sebaliknya, kamu mungkin melihatku bebas, tapi tidak tahu betapa beratnya hidup di alam liar.” kata burung bebas lagi.

Keduanya terdiam lagi, kali ini dengan pemahaman yang lebih mendalam. Matahari terus naik ke langit, dan angin lembut bertiup di antara dedaunan. Burung bebas terbang pergi, meninggalkan burung dalam sangkar yang tetap diam di tempatnya, memandang langit yang tak bisa ia jangkau.

Hidup memang seperti itu. Apa yang terlihat indah dari kejauhan seringkali menyembunyikan cerita lain yang hanya diketahui oleh mereka yang menjalaninya. Sawang sinawang, setiap orang punya cerita, punya beban, punya berkah yang berbeda. Yang penting adalah bagaimana kita bersyukur dan menikmati apa yang sudah kita miliki, tanpa terus membandingkan dengan kehidupan orang lain. Sebab, kebahagiaan sejati ada dalam hati yang mampu menerima dan mensyukuri setiap karunia-Nya.

 

Wallohu a’lam

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar