Cerpen Ramadhan Hari Ke-17
ketakketikmustopa.com, Ramadhan kali ini terasa lebih syahdu di Kampus STID Al-Biruni Cirebon. Udara sore yang sejuk menyelimuti halaman masjid kampus, tempat para mahasiswa berkumpul menunggu waktu berbuka. Di salah satu sudut, dua sosok sedang terlibat dalam diskusi yang semakin hangat.
"Cinta dalam Islam bukan sekadar perasaan, Nadira," ujar Alif dengan nada serius.
"Ia harus didasarkan pada ketakwaan dan tujuan yang jelas."
Nadira menatap Alif dengan mata berbinar.
"Tapi bagaimana dengan perasaan yang hadir secara alami? Apakah cinta harus selalu dijustifikasi dengan dalil?"
Alif menghela napas.
"Bukan begitu maksudku. Cinta adalah fitrah, tapi ia harus dijaga dalam batasan syariat. Jika tidak, bisa menjadi fitnah."
Nadira menyilangkan tangan di dadanya.
"Lalu bagaimana dengan kisah Nabi Muhammad dan Khadijah? Bukankah cinta mereka lahir dari saling mengagumi, dari kekaguman yang berbuah pada pernikahan?"
Perdebatan seperti ini bukan yang pertama kali terjadi. Sejak awal perkuliahan di semester ini, Alif dan Nadira sering beradu argumen, terutama dalam kajian tafsir dan fikih. Keduanya dikenal cerdas dan kritis, membuat setiap diskusi di kelas menjadi lebih hidup.
Namun, di bulan Ramadhan ini, ada sesuatu yang berbeda. Setiap perdebatan di antara mereka tak hanya sekadar intelektual. Ada getaran halus yang mulai mereka sadari—sesuatu yang lebih dari sekadar perbedaan pandangan.
Suatu malam, dalam kajian tafsir di musala kampus, Ustadz Hamzah menjelaskan tentang Surah Ar-Rum ayat 21:
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan sayang..."
Alif melirik sekilas ke arah Nadira yang duduk di seberangnya. Entah mengapa, ayat itu terasa berbeda malam ini. Apakah benar bahwa cinta sejati adalah yang membawa ketenteraman?
Setelah kajian, Nadira menghampiri Alif dengan senyum tipis.
"Jadi, menurut tafsir tadi, cinta itu anugerah, kan?" tanyanya lirih.
Alif mengangguk.
"Ya, tapi anugerah yang harus dijaga. Bukan sekadar untuk kesenangan dunia, tapi untuk meraih ridha Allah."
Malam semakin larut, tapi hati mereka terasa lebih terang. Diskusi mereka tak lagi sekadar perdebatan—ia telah menjadi pencarian makna, bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang bagaimana mencintai dengan cara yang benar.
Dan di bulan Ramadhan yang suci ini, mereka menyadari bahwa mungkin, cinta sejati bukanlah tentang siapa yang memenangkan perdebatan, tetapi siapa yang mampu membawa satu sama lain lebih dekat kepada-Nya.
-Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar