Abstrak
RA Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia yang menyalurkan pemikirannya melalui surat-surat kepada sahabat-sahabatnya di Eropa. Surat-surat tersebut menjadi simbol perjuangan berbasis pena. Di era digital, semangat Kartini menemukan medium baru: media sosial. Artikel ini berusaha menelaah transformasi bentuk perjuangan perempuan dari zaman Kartini hingga masa kini dengan menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi ruang baru bagi perempuan untuk mengartikulasikan identitas, menyuarakan hak, dan membangun jaringan solidaritas. Meskipun berbeda bentuk, perjuangan Kartini tetap hidup dan berkembang dalam bingkai digital.
Kata kunci: Kartini, Emansipasi, Media Sosial, Perempuan, Digitalisasi
PENDAHULUAN
Sejak awal abad ke-20, nama RA Kartini telah melekat sebagai ikon emansipasi perempuan Indonesia. Perjuangannya merefleksikan semangat pembebasan dari kungkungan budaya patriarkal dan keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan.[1] Melalui tulisan dan surat menyuratnya, Kartini menyuarakan kegelisahan serta idealismenya tentang pentingnya pendidikan, kesetaraan, dan pencerahan bagi kaum perempuan.
Lebih dari seabad berlalu, dunia mengalami transformasi besar-besaran dalam ranah komunikasi. Media sosial kini menjadi medium dominan dalam penyebaran gagasan dan pembentukan opini publik. Lalu, bagaimana semangat Kartini diteruskan dalam era digital ini? Apakah esensinya masih relevan? Dan bagaimana peran media sosial dalam mengartikulasikan kembali emansipasi ala Kartini?
Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menggali kesinambungan semangat Kartini dalam konteks kontemporer, khususnya melalui media sosial sebagai medium perjuangan.
KAJIAN PUSTAKA
1. RA Kartini dan Tradisi Literasi
Kartini menulis surat sebagai ekspresi intelektual dan bentuk perlawanan terhadap sistem sosial yang menindas perempuan. Kumpulan suratnya dalam Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi warisan pemikiran yang menggugah semangat perjuangan.[2]
2. Media Sosial dan Perempuan
Menurut Castells (2011), media sosial merupakan alat komunikasi horizontal yang mampu membentuk kekuatan sosial baru berbasis jaringan.[3] Dalam konteks perempuan, media sosial membuka ruang partisipasi dan artikulasi gagasan secara bebas, dari isu kesetaraan hingga kekerasan berbasis gender.[4]
3. Transformasi Gerakan Sosial
Della Porta dan Diani (2006) menyebut bahwa teknologi digital telah mengubah bentuk dan strategi gerakan sosial. Aksi turun ke jalan kini dilengkapi dengan aksi virtual melalui tagar (#) dan kampanye daring.[5]
PEMBAHASAN
A. Pena Kartini sebagai Media Perjuangan
Surat-surat Kartini menunjukkan kemampuan literasi yang tinggi. Ia menulis dalam bahasa Belanda, menuangkan pemikiran filosofis dan sosialnya, serta menyuarakan keresahan terhadap praktik pingitan, pendidikan yang dibatasi, dan pernikahan paksa.[6] Dalam surat kepada Stella, Kartini menulis:
"Saya ingin bebas. Bebas untuk belajar, bekerja, dan menjadi manusia sejati."
Pena Kartini menjadi senjata perjuangan yang sunyi, namun tajam dan berdampak jangka panjang.
B. Media Sosial: Pena Baru Generasi Kartini Masa Kini
Saat ini, pena telah berubah wujud menjadi layar dan papan ketik. Aktivisme perempuan dilakukan melalui Instagram, Twitter, TikTok, dan platform lainnya. Gerakan seperti #WomenSupportWomen, #MeToo, hingga kampanye #PerempuanBisa di Indonesia membuktikan bahwa suara perempuan semakin kuat di ruang digital.[7]
Contohnya, akun @perempuanterkini menyuarakan isu kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual dengan gaya edukatif dan visual menarik. Demikian pula, komunitas Indonesia Feminis aktif membagikan konten berbasis edukasi gender dan hukum.
C. Kesinambungan Spirit Kartini
Meskipun berbeda medium, perjuangan Kartini dan perempuan masa kini memiliki kesamaan esensial: semangat untuk mendobrak ketidakadilan. Jika Kartini dibatasi oleh akses dan tradisi, perempuan masa kini berhadapan dengan tantangan cyberbullying, bias algoritma, dan seksisme digital.[8]
Namun, ruang media sosial juga memungkinkan perempuan untuk saling menguatkan, membangun jejaring, dan memproduksi pengetahuan alternatif. Dalam semangat ini, Kartini digital bukanlah simbol pasif, melainkan aktor aktif dalam transformasi sosial.
KESIMPULAN
Transformasi perjuangan Kartini dari pena ke media sosial mencerminkan adaptasi semangat emansipasi dalam konteks zaman. Media sosial hari ini menjadi arena perjuangan baru yang memungkinkan artikulasi ide, ekspresi identitas, dan advokasi hak perempuan secara lebih luas dan cepat. Kartini tidak hanya hidup dalam buku sejarah, tetapi juga dalam unggahan, cuitan, dan konten yang memperjuangkan kesetaraan. Maka, Kartini adalah ide yang terus berevolusi—dari pena ke media sosial, dari ruang pribadi ke publik digital.
FOOTNOTE
[1] Kartini, R.A. Habis Gelap Terbitlah Terang, ed. Armijn Pane (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), hlm. 23.
[2] Ibid., hlm. 45.
[3] Castells, Manuel. Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age (Cambridge: Polity Press, 2011), hlm. 17.
[4] Pratiwi, Nindya. “Perempuan dan Media Sosial: Ruang Baru Perjuangan Emansipasi.” Jurnal Komunikasi dan Gender, Vol. 5 No. 1 (2020): 55.
[5] Della Porta, Donatella & Diani, Mario. Social Movements: An Introduction (Malden: Blackwell, 2006), hlm. 112.
[6] Kartini kepada Stella, 15 Agustus 1901, dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, hlm. 88.
[7] Siregar, Putri. “Aktivisme Digital Perempuan di Indonesia.” Jurnal Perempuan Digital, Vol. 2 No. 2 (2021): 34–41.
[8] Aisyah, Lilis. “Seksisme dan Cyberbullying di Media Sosial.” Jurnal Gender dan Ruang Siber, Vol. 3 No. 1 (2022): 20–29.
DAFTAR PUSTAKA
Kartini, R.A. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka, 2004.
Castells, Manuel. Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age. Cambridge: Polity Press, 2011.
Della Porta, Donatella & Diani, Mario. Social Movements: An Introduction. Malden: Blackwell, 2006.
Pratiwi, Nindya. “Perempuan dan Media Sosial: Ruang Baru Perjuangan Emansipasi.” Jurnal Komunikasi dan Gender, Vol. 5 No. 1 (2020).
Siregar, Putri. “Aktivisme Digital Perempuan di Indonesia.” Jurnal Perempuan Digital, Vol. 2 No. 2 (2021).
Aisyah, Lilis. “Seksisme dan Cyberbullying di Media Sosial.” Jurnal Gender dan Ruang Siber, Vol. 3 No. 1 (2022).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar