Perempuan dan Fikih Cyber: Isu Privasi, Pelecehan Online, dan Etika Digital dalam Perspektif Islam


Abstrak

Tulisan ini membahas problematika yang dihadapi perempuan Muslim dalam ruang digital seperti pelanggaran privasi, pelecehan online, dan tantangan etika digital, dengan pendekatan fikih cyber sebagai solusi normatif Islam. Melalui studi kepustakaan dan pendekatan multidisipliner (agama, gender, dan teknologi), artikel ini menunjukkan urgensi ijtihad kontemporer dalam merespon perubahan zaman, serta peran penting lembaga keagamaan dan komunitas Muslim dalam membangun literasi digital yang adil dan beretika.

Kata Kunci: Fikih Cyber, Perempuan, Etika Digital, Privasi, Kekerasan Berbasis Gender Online

Pendahuluan 

Kemajuan teknologi informasi telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi, termasuk dalam konteks relasi sosial dan keagamaan. Di antara kelompok yang paling terdampak oleh revolusi digital ini adalah perempuan. Munculnya berbagai bentuk pelanggaran privasi, pelecehan daring, dan eksploitasi digital menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, fikih Islam dituntut untuk melakukan pembacaan ulang terhadap teks-teks normatif guna merespons dinamika tersebut.

Tulisan ini bertujuan mengkaji isu-isu yang dihadapi perempuan Muslim dalam ruang digital melalui pendekatan fikih cyber. Kajian ini penting untuk menemukan titik temu antara prinsip-prinsip syariah dan kebutuhan kontemporer dalam melindungi kehormatan dan martabat perempuan di era digital.

1. Teori Fikih Cyber: Ijtihad di Era Digital Fikih cyber merupakan cabang dari fikih kontemporer yang berupaya menjawab persoalan-persoalan hukum Islam yang muncul akibat perkembangan teknologi digital. Dalam pendekatan ini, digunakan kaidah-kaidah ushul fikih seperti maslahah mursalah, sadd al-dzari'ah, dan hifzh al-‘irdh (penjagaan terhadap kehormatan). Para ulama kontemporer seperti Dr. Ali Jum'ah dan Syekh Wahbah Zuhayli telah banyak menyumbangkan pemikiran dalam mengkontekstualisasikan hukum Islam terhadap realitas digital.¹

Privasi, etika bermedia, transaksi daring, dan bentuk-bentuk interaksi virtual lainnya menjadi objek kajian fikih cyber. Dalam konteks ini, perempuan sebagai pengguna aktif media sosial dan platform digital lainnya memerlukan perlindungan fikih yang adaptif dan solutif.

2. Privasi Perempuan dalam Perspektif Syariat Islam sangat menekankan perlindungan terhadap privasi dan kehormatan seseorang. Al-Qur'an secara tegas melarang praktik tajassus (mengintip atau memata-matai) dan ghibah (menggunjing) sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Hujurat: 12.² Dalam konteks digital, penyebaran foto, video, atau informasi pribadi perempuan tanpa izin termasuk bentuk pelanggaran terhadap kehormatan (irtikab al-‘irdh) yang dapat dikenai sanksi ta’zir.

Fatwa-fatwa kontemporer dari berbagai lembaga fatwa dunia Islam telah mengeluarkan panduan terkait keharaman penyebaran konten pribadi tanpa izin, bahkan menegaskan bahwa pelaku dapat dikenai hukuman pidana jika terbukti mencemarkan nama baik atau menyebabkan kerugian psikologis bagi korban.³

3. Pelecehan Online: Kekerasan Gender dalam Wajah Baru Kekerasan berbasis gender online (KBGO) adalah bentuk kekerasan yang dilakukan melalui platform digital dan berdampak pada korban, khususnya perempuan. Bentuknya beragam, mulai dari pelecehan verbal, doxing, cyberstalking, hingga penyebaran konten intim. Dalam kerangka fikih, pelecehan ini masuk dalam kategori ta’addi (penyerangan) yang dapat dihukum secara ta’zir, yakni hukuman yang ditetapkan penguasa untuk menjaga ketertiban umum.⁴

Komnas Perempuan dalam laporan tahunannya mencatat peningkatan kasus KBGO setiap tahun, terutama terhadap perempuan muda dan aktivis perempuan.⁵ Oleh karena itu, perlu ada langkah strategis dari komunitas Muslim untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya dan dampak pelecehan online.

4. Etika Digital dalam Islam: Tanggung Jawab Moral Pengguna Internet Etika digital dalam perspektif Islam berkaitan erat dengan amanah (tanggung jawab), akhlak, dan pengendalian diri. Setiap aktivitas daring harus mempertimbangkan nilai kejujuran, sopan santun, dan tidak merugikan orang lain. Konsep tahdzib al-nafs (penyucian jiwa) penting untuk membentuk karakter pengguna media yang bijak.

Islam memandang teknologi sebagai alat yang netral; nilai kebaikan atau keburukan tergantung pada penggunanya. Oleh karena itu, perempuan Muslim dapat mengambil peran sebagai agen perubahan melalui konten positif, edukatif, dan inspiratif di dunia digital.⁶

5. Strategi Perlindungan dan Pemberdayaan Beberapa strategi yang bisa dikembangkan untuk melindungi perempuan dari kejahatan digital antara lain:

1. Peningkatan literasi digital yang berbasis nilai-nilai Islam.

2. Sosialisasi hukum syariah dan hukum negara mengenai pelecehan online.

3. Penguatan peran lembaga pendidikan, pesantren, dan organisasi perempuan Muslim.

Dalam hal ini, kerjasama antara ulama, akademisi, dan praktisi hukum menjadi sangat penting untuk membangun ekosistem digital yang aman, adil, dan bermartabat.

Kesimpulan 

Perempuan menghadapi tantangan besar dalam era digital, mulai dari pelanggaran privasi hingga pelecehan online. Fikih cyber menawarkan kerangka normatif Islam yang bisa digunakan untuk menanggapi isu-isu tersebut secara adaptif. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak untuk membentuk kesadaran etis, hukum, dan spiritual dalam penggunaan teknologi, khususnya untuk melindungi martabat perempuan Muslim.

Daftar Pustaka (dengan Footnote):

1. Ali Jum’ah, Fikih Realitas Kontemporer, Cairo: Dar al-Salam, 2020.

2. Wahbah az-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2000.

3. Fatwa Dar al-Ifta' Mesir Nomor 3015 Tahun 2022 tentang Etika Digital.

4. Ibn Qudamah, al-Mughni, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

5. Komnas Perempuan, Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2023.

6. MUI, Pedoman Etika Bermedia Sosial, Jakarta: MUI Pusat, 2021.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar