Cerpen
Ayah selalu pulang larut malam. Kadang dengan langkah yang berat, jaket lusuh, dan tangan yang masih kotor bekas oli. Tapi di mataku, dia tetap lelaki paling gagah yang pernah kutemui. Bukan karena ototnya, tapi karena hatinya.
Dulu aku sering bertanya, kenapa kita tak pernah liburan seperti teman-temanku? Kenapa bajuku tak selalu baru saat lebaran? Kenapa sepatu sekolahku harus dijahit dua kali? Dan kenapa pelukan Ayah begitu langka?
Tapi kini aku tahu.
Pelukan Ayah hadir dalam bentuk lain—ketika ia berdiri diam menatapku di balik pintu kelas waktu aku pentas. Atau saat ia menepuk pelan pundakku sebelum ujian, tanpa banyak kata. Dalam diamnya, Ayah bicara. Dalam lelahnya, Ayah mencinta.
Aku masih ingat malam itu, Ayah duduk termenung di teras. Aku pikir ia sedang marah, tapi sebenarnya ia sedang menahan beban hidup yang tak ingin ia bagi pada siapa pun—termasuk padaku. Pundaknya tampak rapuh, tapi tetap berdiri tegak. Karena Ayah tahu, kalau ia runtuh, siapa lagi yang menopang rumah ini?
Sekarang, aku sudah dewasa. Tak semua tanya butuh jawaban, karena waktu akhirnya menjawab segalanya. Kini aku tahu: kasih sayang Ayah tidak selalu hadir dalam pelukan atau kata-kata manis. Tapi dalam keringat, dalam diam, dalam kerja keras, dan dalam doa-doa yang selalu ia bisikkan lirih sebelum subuh menyapa.
Terima kasih, Ayah…
Karena kau tidak pernah berhenti.
Tidak pernah lelah mencinta, meski sering kali tak dihargai.
Tidak pernah mengeluh, meski dunia sering tak adil padamu.
Kelak, aku akan berkata pada dunia: aku menjadi seperti ini karena Ayah. Bukan karena segala yang diberi, tapi karena segala yang diperjuangkan diam-diam.
Ayah…
Aku mencintaimu. Selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar