Seni Menulis untuk Pemula dan Mahasiswa


Menulis di era disrupsi digital seperti sekarang ini telah menjadi keterampilan yang semakin langka. Generasi muda, khususnya mahasiswa, lebih akrab dengan dunia yang serba instan—scrolling media sosial, bermain game online, dan budaya "rebahan" menjadi pola hidup baru. Akibatnya, gairah menulis perlahan-lahan meredup, tergeser oleh konten cepat saji yang minim refleksi dan kedalaman. Padahal, sejarah peradaban mencatat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai tulisan.

Kita pernah memiliki tokoh-tokoh besar seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan ulama-ulama Nusantara yang karya-karyanya menjadi rujukan lintas zaman. Namun dalam beberapa dekade terakhir, sulit menemukan figur penulis besar dari dunia kampus atau pesantren yang mampu menembus ruang publik secara luas dengan tulisan yang menggugah dan mencerahkan.

Di kampus-kampus memang ada pelatihan menulis karya ilmiah, pelatihan penulisan cerpen, puisi, hingga novel. Tetapi sayangnya, banyak kegiatan itu bersifat seremonial dan belum mampu menumbuhkan budaya menulis yang berkelanjutan. Maka, diperlukan pendekatan baru dan trik jitu untuk membangkitkan kembali semangat menulis di kalangan mahasiswa.

Beberapa trik yang dapat dicoba untuk menumbuhkan semangat menulis antara lain:

1. Menulis dari Hal yang Disukai

Banyak pemula gagal menulis karena merasa harus langsung menulis yang berat. Padahal, menulis bisa dimulai dari hobi: resensi film, review buku, catatan perjalanan, atau bahkan pengalaman pribadi.

2. Membaca Adalah Bahan Bakar Menulis

Tak ada penulis besar yang bukan pembaca. Mahasiswa harus dibiasakan membaca secara teratur—baik bacaan ilmiah, sastra, maupun populer. Bacaan yang luas memperkaya diksi dan memperkuat argumen dalam tulisan.

3. Terapkan Metode "Pomodoro Writing"

Metode ini mengatur waktu menulis dalam 25 menit fokus menulis, 5 menit istirahat. Cocok bagi generasi sekarang yang mudah terdistraksi. Sedikit-sedikit tapi rutin lebih baik daripada banyak tapi berhenti di tengah jalan.

4. Menulis Adalah Latihan, Bukan Inspirasi Saja

Menunggu inspirasi seperti menunggu hujan di musim kemarau. Latihan menulis secara konsisten adalah kunci. Tak perlu sempurna, yang penting selesai.

5. Bergabung dalam Komunitas atau Forum Menulis

Komunitas memberikan energi dan semangat. Di sana, tulisan akan mendapatkan apresiasi sekaligus kritik membangun.

6. Tentukan Tujuan Menulis

Apakah untuk menginspirasi, mempengaruhi opini, atau sekadar berbagi ide? Tujuan akan membentuk gaya dan arah tulisan.

7. Gunakan Platform Digital sebagai Etalase Karya

Blog pribadi, Medium, Wattpad, hingga Instagram bisa menjadi ruang untuk mempublikasikan tulisan. Tak perlu menunggu media cetak.

Menulis bukan hanya tentang menghasilkan karya, tetapi juga tentang membangun nalar kritis, ekspresi diri, dan kontribusi bagi peradaban. Generasi muda harus sadar bahwa menulis adalah cara mereka berbicara kepada dunia dan masa depan.

Kini saatnya mahasiswa dan pemuda bangkit menjadi generasi penulis. Tak harus sehebat Al-Ghazali untuk memulai—cukup mulai dari satu paragraf hari ini.

Wallohu a'lam 

Kembali Ke Buku dan Pena



Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, banyak negara maju justru mengambil langkah tak terduga: kembali ke buku cetak dan tulisan tangan. Negara-negara seperti Jepang, Finlandia, Jerman, dan beberapa negara Skandinavia mulai meninjau ulang ketergantungan pada teknologi dalam dunia pendidikan. Mereka memilih untuk menyeimbangkan penggunaan perangkat digital dengan metode pembelajaran klasik yang telah terbukti efektif dalam membangun literasi dan pemahaman yang mendalam.

Fenomena ini layak menjadi cermin bagi Indonesia. Ketika negara lain mulai menyadari bahwa buku dan pena adalah fondasi penting dalam pendidikan, kita justru sering terjebak dalam euforia digital tanpa persiapan yang matang.

Buku Cetak: Lebih dari Sekadar Media Baca

Buku cetak bukan sekadar alat baca, tetapi jendela imajinasi dan ruang refleksi. Banyak studi ilmiah menunjukkan bahwa membaca melalui media fisik dapat meningkatkan konsentrasi, pemahaman bacaan, serta daya ingat jangka panjang. Di Jepang, siswa sekolah dasar diwajibkan membaca buku fisik setiap hari. Di Finlandia, buku cetak masih menjadi media utama dalam pembelajaran dasar. Mereka sadar bahwa membaca bukan sekadar menuntaskan teks, tetapi melibatkan proses berpikir kritis yang lebih mendalam.

Sebaliknya di Indonesia, buku cetak perlahan tergeser oleh bahan ajar digital. Padahal, di banyak daerah, akses internet belum stabil dan kemampuan literasi digital siswa masih rendah. Akibatnya, proses belajar menjadi tidak merata dan kurang efektif.

Menulis Tangan dan Aktivasi Otak

Menulis tangan bukan sekadar aktivitas mekanis, melainkan proses kognitif yang kompleks. Saat menulis dengan tangan, otak bekerja mengolah informasi, menyusun struktur kalimat, dan mengingat kata-kata. Penelitian dalam bidang neurosains menunjukkan bahwa menulis tangan memperkuat koneksi saraf di otak yang berperan dalam daya ingat dan pemahaman.

Beberapa negara maju kini kembali mewajibkan menulis tangan di jenjang pendidikan dasar. Di Norwegia, misalnya, siswa dilatih menulis tangan sebelum diperkenalkan dengan perangkat digital. Sementara itu, di Indonesia, menulis tangan justru semakin ditinggalkan. Padahal, bagi banyak pelajar di daerah dengan keterbatasan akses digital, menulis di buku adalah satu-satunya cara efektif untuk belajar.

Kebijakan yang Setengah Hati

Salah satu problem utama pendidikan di Indonesia adalah kebijakan yang kerap berubah mengikuti tren, bukan berdasarkan evaluasi yang kuat. Digitalisasi pembelajaran didorong secara masif tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan SDM. Guru di banyak daerah tidak dibekali pelatihan yang cukup. Anak-anak diminta belajar dengan gawai, sementara jaringan internet di rumah mereka tidak stabil, bahkan tidak ada listrik sama sekali.

Di sisi lain, tidak ada upaya serius untuk memperkuat budaya membaca buku fisik atau membiasakan kembali menulis tangan. Akibatnya, sistem pendidikan kita tampak gamang: mengejar kemajuan digital tetapi lupa memperkuat fondasi literasi dasar.

Kembali ke Dasar, Maju ke Depan

Kembali ke buku dan pena bukan berarti menolak kemajuan teknologi. Ini soal keseimbangan dan peneguhan prinsip bahwa pendidikan bukan sekadar soal alat, tetapi soal proses yang membentuk cara berpikir dan karakter.

Indonesia perlu kembali menempatkan buku cetak dan tulisan tangan sebagai fondasi pembelajaran, sembari mengembangkan teknologi sebagai alat bantu, bukan sebagai tujuan utama. Pemerintah harus menyusun kebijakan pendidikan yang konsisten dan berbasis riset, bukan sekadar mengikuti tren global. Guru perlu diberdayakan, bukan hanya dibebani.

Jika negara maju saja kembali pada metode konvensional demi kualitas pendidikan, mengapa kita justru tergesa-gesa meninggalkannya?

Sebait Kisah di Kampung Halaman




Ponsel tua Lusa bergetar di atas televisi tabung yang juga sudah mulai usang. Aku bergegasSebuah Kisah di Kampung Halamanmenghampirinya dan meraih benda pipih kesayanganku yang layarnya telah buram dan suaranya tak sejelas dulu. Sebuah panggilan masuk dari Kak Nilam—kakakku yang tertua, yang kini tinggal di kota bersama keluarganya.

Kupencet ikon hijau dengan sedikit gemetar.

"Assalamu'alaikum, Kak," sapaku pelan, menahan rindu yang diam-diam menumpuk selama bertahun-tahun.

“Wa’alaikumsalam, Lisa…” suara Kak Nilam terdengar hangat di seberang. “Besok aku sama Ferdi mau ke sana, ya. Kangen sama rumah lama… sama kamu juga.”

Aku tercekat. Mataku berkaca-kaca mendengar kabar itu. Setelah Ibu meninggal tiga tahun lalu, ini pertama kalinya Kak Nilam dan Ferdi—adik bungsuku—menyempatkan datang kembali ke kampung halaman.

"Lisa? Kamu masih di situ?"

“Eh… iya, Kak… iya,” 

Jawabku gugup, berusaha menutupi keterkejutan dan kegembiraan yang meletup dalam dada. 

“Besok aku masakin makanan kesukaan Kak Nilam dan Ferdi, ya… InsyaAllah.”

Terdengar tawa kecil dari seberang, “Aku tahu kamu nggak pernah berubah, Lis. Terima kasih, ya…”

Setelah salam ditutup, aku menatap ponselku lama sekali, kemudian meletakkannya kembali ke atas televisi. Senyumku masih mengambang, tapi pikiranku mulai berkecamuk.

Beras hanya tersisa untuk makan malam ini dan besok pagi...

Dengan enam perut yang harus terisi esok siang, termasuk keponakan-keponakanku, aku tahu persediaanku tak cukup. Mataku melirik ke luar jendela, melihat Mas Waris sedang mencangkul tanah pekarangan.

"Mas…" panggilku pelan sambil keluar rumah. “Besok Kak Nilam sama Ferdi datang. Mau makan siang di sini.”

Mas Waris menatapku sejenak, meletakkan cangkulnya. “Aku periksa bubu di sungai, ya. Siapa tahu ada gabus atau puyu.”

Aku hanya mengangguk. Tidak perlu kata-kata panjang. Kami sudah cukup lama hidup dalam keheningan yang penuh pengertian.

Aku melangkah masuk ke kamar Wildan, anak bungsuku. Ia sedang memandangi ayam jagonya dari jendela.

“Sayang…,” panggilku lirih sambil mengusap rambutnya. “Besok Susan dan Faris datang main, ya. Senang?”

Ia mengangguk bersemangat.

“Wildan… bolehkah ayamnya Ibu tukar dulu sama beras? Nanti kalau ada rezeki, kita beli ayam baru yang lebih bagus…”

Wildan menatapku. Ada sedikit keraguan, tapi ia mengangguk lagi. “Boleh, Bu. Asal nanti beliin mainan juga ya… kalau bisa dua.”

Aku tertawa pelan sambil memeluknya. “InsyaAllah, Nak.”

Dengan hati sedikit lega, aku berangkat ke warung membawa dua ayam jantan itu. Setelah tawar-menawar yang cukup lama, akhirnya aku pulang membawa beras lima kilogram, minyak, bawang, telur, dan sedikit jajan untuk anak-anak.

Keesokan harinya, dua mobil berhenti di depan rumah. Aku berdiri di ambang pintu, menahan debar. Dari dalam mobil keluar Kak Nilam dan Ferdi bersama pasangan dan anak-anak mereka.

“Lisaaa!” seru Kak Nilam, lalu memelukku erat.

“Astaga, rumah ini… masih sama persis seperti dulu ya,” kata Ferdi sambil menatap sekeliling.

Aku tersenyum lebar, meski dalam hati masih ada rasa minder. Tapi kebahagiaan karena mereka datang mengalahkan segalanya. Aku ajak mereka makan siang. Menu sederhana: ikan gabus bumbu bali, tumis kangkung, dan kulupan jantung pisang.

“Berasa makan masakan ibu,” gumam Ferdi sambil menyendok nasi untuk ketiga kalinya.

Aku tersenyum. Tiba-tiba, semua lelah dan air mata yang pernah kucurahkan untuk bertahan terasa terbayar lunas.

Malam hari, kami duduk di teras, mengenang masa kecil. Ferdi tertawa saat mengingat saat ia pernah dikurung di kamar mandi olehku gara-gara rebutan permen.

Pagi harinya, saat mereka pamit pulang, aku menyuguhkan nasi goreng putih seadanya dan telur dadar.

“Ini nasi goreng khas Lisa,” kata Kak Nilam. “Nggak ada yang bisa nandingin!”

Aku tersipu. Susan—anak Kak Nilam—kemudian merengek ingin membawa boneka satu-satunya milik Dila, anak perempuanku.

“Boleh, kok,” 

Ucap Dila cepat, meski kutahu itu boneka kesayangannya.

Hatiku bergetar. Anak-anakku belajar memberi bahkan dalam keterbatasan.

Beberapa jam setelah mereka pergi, Pak Zainal datang membawa dua karung beras dan satu kardus besar.

“Titipan Kak Nilam sama Ferdi, Mbak,” katanya. “Pesannya, baru boleh dikasih kalau mereka udah pulang.”

Dalam kardus itu ada semua: minyak, gula, kopi, biskuit, susu, bahkan cemilan anak-anak. Aku tak mampu berkata apa-apa, hanya air mata yang turun deras.

Aku menelpon mereka sambil terisak. Tapi mereka hanya tertawa kecil di ujung telepon.

“Kakakmu ini ya,” ucap Kak Nilam. “Dulu tega ambil uang sakumu, sekarang masa nggak boleh balas jasa?”

Dua hari kemudian, sebuah Pick Up hitam berhenti di depan rumah. Tiga orang menurunkan sepeda motor bekas yang masih bagus dan satu kardus besar.

Aku hampir tak percaya.

“Titipan dari Ferdi dan Kak Nilam,” ucap sang pengantar.

Tanganku gemetar membuka pesan dari Ferdi.

[Istriku beli motor baru. Yang ini enggak dipakai. Mungkin Kak Waris bisa pakai buat kerja atau antar anak-anak.]

Aku balas sambil menahan air mata:

[Fer… ini mahal, Dik. Gimana kalau istrimu enggak setuju?]

[Enggak, Kak. Itu enggak sebanding dengan dua tahun Kakak urus Ibu sendirian dulu…]

Aku menutup wajahku. Tangis pecah tanpa bisa dicegah. Mas Waris memelukku pelan dari belakang.

Anak-anak sudah membuka kardus dan menjerit senang. Boneka-boneka baru, baju-baju bagus, dan... sebuah kotak kecil.

Aku membukanya. Sepasang anting. Anting yang dipakai Kak Nilam saat kemarin ke sini.

Kubuka pesan darinya.

[Susan dan Rudi ke Mall, banyak diskonan. Jadi beli buat Dila dan Wildan. Anting itu? Aku sudah bosan. Kayaknya cocok di kamu.]

Aku langsung menelpon Kak Nilam.

“Kak… ini anting mahal. Aku nggak bisa nerima…”

“Kalau kamu balikin, berarti kamu nggak anggap aku kakakmu!” jawabnya cepat. “Dulu, aku sering ambil uang sakumu, dan ibu marah. Katanya, kakak itu harusnya memberi, bukan mengambil…”

Terdengar tawa kecilnya di ujung telep

Ayo Menulis!


Mengajak petani di sawah untuk menulis mungkin terdengar mustahil. Menyuruh emak-emak di pasar membuka laptop dan mengetik kisahnya, pasti ditanggapi dengan gelengan kepala dan tawa kecil.

Begitu pula ketika ajakan menulis ditujukan pada supir angkot yang sibuk mengejar setoran harian—pasti langsung ditolak mentah-mentah. Mereka merasa menulis itu hanya milik kalangan tertentu. Bahkan ada yang berkata, “Buat apa belajar menulis? Untuk apa menulis buku? Ga ada gunanya, kan?”

Namun tidak bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan: siswa, mahasiswa, guru, dosen, ustadz, kyai, dan siapa pun yang hidup di tengah arus ilmu pengetahuan. Justru kepada merekalah ajakan ini seharusnya bergema lebih lantang: Ayo menulis!

Menulis bukan hanya soal menggoreskan tinta di atas kertas atau mengetik huruf di layar. Menulis adalah cara mencatat jejak pemikiran, menyusun ulang pengalaman, dan membekukan hikmah dari setiap peristiwa. Di era di mana perubahan begitu cepat—teknologi berkembang, informasi mengalir deras, dan budaya silih berganti—menulis menjadi kebutuhan, bukan lagi pilihan.

Dengan menulis, kita bukan hanya mendokumentasikan ilmu, tapi juga ikut membentuk arah peradaban. Tulisan adalah warisan yang abadi; ketika lisan berhenti, tulisan tetap hidup. Setiap ilmu yang dibagikan lewat tulisan akan menjadi amal jariyah, setiap ide yang dituangkan akan membangun peradaban.

Apalagi bagi mereka yang menggantungkan hidupnya di perguruan tinggi menulis tidak hanya kebutuhan bahkan kewajiban.

Bukankah Tri Dharma Perguruan Tinggi semuanya membutuhkan kegiatan menulis.

Maka, ayo menulis! Bukan karena semua orang harus jadi penulis buku, tapi karena setiap orang berhak mengabadikan pemikiran, membagikan ilmu, dan meninggalkan jejak sejarahnya sendiri.

Wallahu a'lam.

Bertemu Dosenku di Tanah Suci


Namanya Maysaroh, teman-teman memanggilnya May. Gadis kampung lulusan MAN yang sederhana dan santun. Baru lulus, ia punya tekad kuat kuliah sambil mondok agar bisa menimba ilmu dunia dan akhirat. Bersama dua sahabatnya, Syakila dan Juwita, mereka daftar ke STID Al-Biruni Cirebon.

Hari pertama Ospek, May menyetir sendiri mobil milik pamannya. Sampai di parkiran kampus, tiba-tiba klakson! nyaring terdengar dari belakang. Kaca mobil di belakang terbuka, muncullah pria muda, rapi, tampan, berkacamata hitam.

“Maaf, Mbak. Ini parkiran khusus untuk dosen. Mbaknya mahasiswa baru, ya?” 

Katanya dengan suara ramah namun tegas.

May tersipu malu. 

“Maaf, Pak Dosen… kami salah masuk.”

Begitu Ospek dimulai, terdengar pengumuman bahwa Ketua STID berhalangan hadir masih sedang berada di luar kota dan akan diwakilkan oleh Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan Bapak Dr. Jalaludin, MA. Maysaroh dan teman-temannya terbelalak. Ternyata… dosen yang di parkiran tadi.

“Ya Allah, Mas Dosen rupanya,” 

Gumam May. Dalam hati, doa kecil ia panjatkan:

"Ya Allah andai dia jodohku…”

Waktu berlalu. Tidak terasa sudah semester enam, May makin rajin kuliah, bukan hanya karena semangat menimba ilmu, tapi juga karena diam-diam hatinya terikat pada pribadi lembut dan alim seorang Dr. Jalaludin. 

Namun, badai kecil datang.

“Nak, Bapak sudah menjodohkan kamu dengan Jhoni. Anak teman Bapak. Usahanya banyak, masa depan terjamin,” 

Kata Pak Umar.

May menggeleng kepala perlahan. 

"Maaf, Ayah. May sudah jatuh hati pada Mas Jalal, dosen May di kampus.”

----------

Pada musim haji tahun ini, keluarga May mendapat panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji. Tak disangka, di tengah padatnya Masjidil Haram, Maysaroh kembali bertemu dengan Mas Jalal.

“Mas Jalal? Astaghfirullah… Mas juga di sini?” 

Ujar Maysaroh kaget.

Jalal tersenyum. 

“Iya, May. Tahun ini saya jadi petugas haji dari Kementerian Agama.”

Sejak itu, Maysaroh dan orang tuanya beberapa kali melihat langsung ketulusan Jalal dalam menjalankan tugasnya.

Menjadi petugas haji sudah pasti seluruh waktunya untuk memberikan pelayanan pada para jamaah yang mendapat masalah.

Pernah suatu malam, Jalal mendapatkan kabar bahwa ada jemaah lansia yang pingsan. Ia segera berlari, membopong sendiri ibu tua itu ke pos kesehatan. Tangan dan bajunya basah oleh keringat, tapi senyumnya tak pernah lepas.

Di lain waktu, Jalal menemani seorang jemaah asal pelosok Kalimantan yang menangis kehilangan kelompoknya. Ia menuntunnya menyusuri jalan yang sangat jauh, walau harus jalan kaki lebih dari dua kilometer.

Suatu pagi, ia juga mengurusi pemakaman seorang jemaah yang wafat di Masjidil Haram. Ia sendiri yang memandikan, menshalatkan, bahkan mengangkat jenazah ke liang lahad, karena kerabat almarhum tak ada yang bisa hadir.

Semua itu disaksikan sendiri oleh Pak Umar. Hatinya yang keras perlahan mencair.

Suatu hari, Pak Umar hilang dari rombongan. Panik melanda. May langsung menghubungi Mas Jalal.

“Mas, Ayah hilang. Tolong bantu cari, ya…”

Tanpa banyak tanya, Jalal berlari. Dari pos satu ke pos lain ia menyusuri area Masjidil Haram. Beberapa jam kemudian, ia menemukan Pak Umar duduk.

“Pak Haji, sini saya antar ke keluarga,” 

Ucap Jalal sambil memegang bahu Pak Umar. Tangannya kokoh, menenangkan.

Pak Umar hanya bisa memandang penuh syukur. Di saat genting, Jalal hadir bukan sebagai dosen, tapi sebagai anak laki-laki sejati.

Pulang ke Tanah Air, semuanya berubah. Pak Umar yang awalnya menolak, kini memberi restu.

Sebulan setelah wisuda, May resmi menjadi istri Dr. Jalaludin, MA. Di pelaminan, Maysaroh tersenyum haru. Ia tak hanya lulus sebagai sarjana, tapi juga sebagai perempuan yang berserah penuh kepada rencana Allah—karena cinta yang disimpan dalam doa, akhirnya berbuah nyata di tanah suci.

Sekolah Harapan: Refleksi Hari Pendidikan Nasional


Kisah Bu Lina, Sang Penjaga Cahaya di Hutan Sunyi

Di ujung barat sebuah negeri yang sering luput dari peta perhatian, terdapat sebuah desa terpencil, tertutup kabut pagi dan bisikan hutan. Desa itu seolah berdiri di antara waktu dan doa, sunyi dari hiruk pikuk kota, jauh dari sinyal, namun dekat dengan langit. Di sanalah, setiap pagi, langkah seorang perempuan selalu menggores tanah basah dengan telapak sepatu yang usang. Namanya Bu Lina.

Bukan siapa-siapa. Bukan pegawai negeri. Bukan pula tokoh viral di media sosial. Ia hanya seorang guru honorer, dengan gaji yang bahkan tak cukup untuk membeli sepasang sepatu baru. Tapi di pundaknya, ia memikul beban yang lebih berat dari gunung: masa depan anak-anak pedalaman.

Setiap hari ia berjalan lebih dari tujuh kilometer. Melintasi jembatan kayu yang rapuh, menyeberangi sungai dengan arus deras yang sering membuat orang dewasa pun gentar, lalu menaiki jalan setapak di lereng bukit. Tak jarang hujan turun, mencambuk tubuhnya. Kadang longsor menutup jalur, membuatnya harus memutar lebih jauh. Tapi ia tetap berjalan. Karena di ujung sana, di bangunan tua berdinding bambu bolong dan atap bocor, ada satu ruang yang ia sebut: Sekolah Harapan.

“Bu, kenapa Ibu repot-repot datang, padahal muridnya cuma saya?” 

Tanya Zidan, bocah kurus dengan mata bening seperti embun pagi.

Bu Lina menatap anak itu dan tersenyum.

"Karena kamu adalah harapan, Nak. Meski satu, tapi jika kau tumbuh, kau bisa menjadi pohon yang menaungi banyak.”

Tak selalu ada murid yang datang. Pernah, seminggu penuh Bu Lina duduk sendiri di dalam kelas, membaca buku dengan suara lirih seperti sedang mengajar para malaikat. Pernah pula ia hanya ditemani seekor kucing kurus yang tidur di sudut kelas. Tapi ia tetap datang, tetap membuka buku, tetap menulis di papan tulis yang retak.

Ada satu masa, ia jatuh sakit. Demam tinggi, tubuh menggigil. Tetangganya menawarkan membawa ke puskesmas di kota. Tapi Bu Lina menolak.

"Aku belum selesai menanam benih-benih itu," 

Katanya pelan, 

“Kalau aku pergi, siapa yang akan menjaga cahaya di sini?”

Malam-malam panjang ia lalui dengan doa. Pagi ia bangun, dan kembali berjalan. Tak ada kamera yang merekam. Tak ada media yang meliput. Tapi setiap langkahnya adalah berita agung di langit.

Suatu pagi, ketika kabut belum sepenuhnya sirna, ia tiba di sekolah dan menemukan lima anak duduk rapi. Salah satunya berkata, 

“Kami datang, Bu. Kami ingin belajar.”

Bu Lina tersenyum, dan air matanya jatuh perlahan. 

“Terima kasih...,”

Ucapnya, 

“Ibu tidak sendiri lagi hari ini.”

Hari-hari pun berlalu. Satu demi satu muridnya pergi—bukan karena putus sekolah, tapi karena mereka akhirnya berani bermimpi. Ada yang jadi guru, ada yang jadi bidan desa, bahkan ada yang kuliah di luar pulau.

Dan suatu hari, datanglah sepucuk surat. Dari Amir, salah satu muridnya dulu yang kini jadi dosen.

“Bu Lina, jika bukan karena Ibu yang mengajar kami di kelas reyot itu, saya mungkin sudah menyerah pada hidup. Tapi Ibu ajarkan kami bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya tak boleh padam, meski lilin kita nyaris habis. Terima kasih, Bu. Dunia saya bermula dari tangan Ibu.”

Bu Lina membaca surat itu berulang kali. Lalu ia menatap keluar jendela bambu. Angin sore menyapa rambutnya yang mulai memutih.

Ia tersenyum. Di kelas sederhana itu, ia tahu satu hal: bahwa perjuangannya, betapa sunyinya, tak pernah sia-sia.

Di sudut negeri, di antara kabut dan sepi, Bu Lina adalah lentera. Bukan untuk disorot, tapi untuk menerangi. Ia adalah suara paling lirih dari pendidikan: tak menggema di podium, tapi bergetar di hati anak-anak yang pernah merasa gelap.

Dan kini, di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita bisikkan sebuah nama: Bu Lina. Guru yang mengajar bukan karena gaji, tapi karena cinta.

Keloter Pertama


Di sebuah desa Sukamaju namanya yang tersembunyi di antara sawah dan gumuk kecil, ada sebuah rumah reot yang dulu menjadi saksi tawa dan tangis, cinta dan duka. Di rumah itu, tinggal seorang perempuan sepuh bernama Bu Inah. Rambutnya telah seluruhnya memutih, jalannya pelan, namun senyumnya masih menghangatkan siapa pun yang datang menyapanya.

Bu Inah bukan siapa-siapa dalam catatan di desa itu. Tapi dalam ingatan langit, ia mungkin satu dari sekian hamba yang sabarnya melebihi luka, yang cintanya menghidupi manusia lain, walau hatinya sendiri terus diuji oleh kehilangan.

Dulu, saat muda, Bu Inah adalah istri dari seorang petani tabah. Hidup mereka sederhana, namun penuh cinta. Dari rahimnya lahir dua anak laki-laki, cahaya yang ia jaga sepenuh jiwa. Mereka tumbuh dalam pelukan doa dan kerja keras.

Namun, takdir memiliki jalan yang tak bisa dibaca manusia. Suaminya jatuh sakit saat musim paceklik menghantam desa. Rumah mereka pernah menjadi sunyi dalam gelap, ketika satu demi satu perabotan dijual demi biaya pengobatan. Di atas tikar lusuh, sang suami mengembuskan napas terakhir dengan kalimat syahadat yang lirih, meninggalkan Bu Inah yang belum sempat mengucapkan selamat tinggal dengan utuh.

Belum usai duka itu, putra bungsunya yang baru duduk di bangku SMA jatuh sakit keras. Kata dokter, penyakitnya terlalu berat untuk ditanggung oleh tubuh yang ringkih dan keluarga yang miskin. Ia pun menyusul ayahnya hanya beberapa bulan setelahnya.

Seakan tak puas menguji, cobaan berikutnya datang menghantam. Anak sulungnya, harapan terakhir, mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang dari kerja serabutan di kota. Malam itu, Bu Inah menjerit tanpa suara, tubuhnya lemas di depan jenazah yang dibalut kafan. Ia kehilangan seluruh darah dagingnya—sendiri dalam sunyi, sepi dalam ramai.

Tapi Bu Inah tidak menggugat takdir. Ia menangis dalam sujud, meratap dalam tahajud, dan memeluk Al-Qur'an saat malam-malam dingin membekukan perasaan. Ia tak punya siapa-siapa, kecuali Allah.

Suatu hari, ketika ia sedang menyapu halaman masjid, terdengar isak tangis seorang bocah di pelataran. Bocah itu bernama Wahyudin. Ayahnya meninggal karena kecelakaan, dan ibunya entah ke mana menghilang. Tubuh kecilnya ringkih, matanya penuh takut, perutnya keroncongan.

Tanpa pikir panjang, Bu Inah menggendongnya pulang. 

“Nak, kalau kamu tidak punya siapa-siapa, mulai hari ini kamu anak Ibu ya,” 

Ucapnya sambil menyeka air mata si kecil.

Hari-hari berikutnya berubah. Rumah kecil yang tadinya sunyi kembali ramai oleh suara anak-anak. Wahyudin tumbuh di bawah bimbingan Bu Inah. Ia diajari mengaji, didorong untuk sekolah, dan dibekali adab dalam berbicara serta kasih sayang tanpa syarat.

Meski hidup pas-pasan, Bu Inah tak pernah mengeluh. Ia menjahit, menyapu masjid, menanam sayur di belakang rumah demi biaya sekolah Wahyudin. Ia tak meminta balas budi. Cukup melihat anak angkatnya tumbuh menjadi anak shaleh sudah menjadi kebahagiaan yang tak ternilai.

Tahun berganti. Wahyudin lulus kuliah dengan beasiswa, bekerja keras, dan kini menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan swasta besar di Jakarta. Ia menikah dan dikaruniai anak-anak yang cerdas. Namun hatinya tak pernah melupakan perempuan tua yang membesarkannya dalam pelukan kasih dan doa.

Suatu hari, Wahyudin pulang ke kampung bersama istri dan anak-anaknya. Rumah bambu Bu Inah yang dulu rapuh kini telah direnovasi menjadi rumah nyaman dengan taman kecil di halaman depan. Tapi bukan itu yang membuat Bu Inah menangis. Yang membuatnya sujud syukur adalah ketika Wahyudin menggenggam tangannya dan berkata,

“Bu, setahun lalu saya daftarkan Ibu naik haji. Hari ini kita berangkat bersama. Kita keloter pertama, Bu. Ibu jadi tamu Allah.”

Bu Inah tak kuasa menahan tangis. Selama ini, ia hanya bermimpi melihat Ka'bah dari televisi mushala kampung. Kini, ia akan melangkah ke tanah suci, tempat yang ia dambakan dalam setiap sujud dan istighfar.

Pagi ini, Jumat, 2 Meib2025 langit bersih dan angin berhembus sejuk. Warga kampung mengantar Bu Inah ke tempat pemberangkatan. Suasana haru menyelimuti. Wajah-wajah kagum menyaksikan bagaimana seorang nenek tua yang hidup dari kesederhanaan, ternyata mendapat undangan istimewa dari Tuhan.

“Lihatlah, itu buah dari menyayangi anak yatim,” 

Ucap Pak Lurah sambil menitikkan air mata.

Ibu-ibu memeluk Bu Inah sambil berdoa agar diberi kekuatan dan kesehatan selama di Tanah Suci. Anak-anak mencium tangannya satu per satu, meneladani bahwa menjadi orang baik bukan soal harta, tapi soal hati dan amal.

Ketika bus haji mulai bergerak, Bu Inah melambaikan tangan sambil berbisik dalam hati,

“Ya Allah... inikah ganjaran untuk sabar yang kusemai selama puluhan tahun? Inikah buah dari air mata yang kutumpahkan di sajadah tua itu?”

Dan langit kampung menjadi saksi—bahwa siapa pun yang bersabar dalam ujian, yang mengasihi tanpa pamrih, yang menanam kebaikan dalam diam—pasti akan Allah panggil menjadi tamu-Nya, di waktu yang paling indah.

Keloter pertama itu bukan sekadar keberangkatan fisik, melainkan titik awal kemenangan seorang hamba yang telah berhasil melewati badai dunia, menuju pelukan Tuhan-Nya.