Iran Dikepung Tak Tumbang: Rudal-Rudal Iran Dibalas Fitnah dan Sanksi


Tulisan ini merupakan simpulan dari berbagai sumber yang tersebar di media sosial, YouTube, TikTok, Facebook, Twitter dan kanal-kanal informasi lainnya yang kini ramai membahas isu paling hangat di dunia internasional: Iran, Israel, dan bayangan perang global.

Beberapa pekan terakhir, dunia dibuat tegang. Kabar tentang Perang Dunia ke-3 terus menggema, apalagi ketika masing-masing negara adidaya mulai saling mengancam dengan senjata nuklir.

Titik panas dimulai dari satu malam yang mencekam—langit Israel diterangi oleh kilatan rudal dan drone balistik yang diluncurkan Iran. Bukan gertakan, bukan simulasi. Ini serangan nyata. Namun lebih dari itu: ini adalah pesan keras dari sebuah negara yang selama ini ditekan dari segala arah.

"Kami Tidak Tinggal Diam"

Serangan ini bukan tanpa alasan. Ini adalah balasan atas serangan udara Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus, Suriah. Secara hukum internasional, menyerang perwakilan diplomatik adalah pelanggaran serius terhadap kedaulatan negara.

Iran membalas bukan sekadar dengan retorika. Ia membalas dengan aksi terukur, strategis, dan terbuka.

Pesan dari Iran jelas:

“Kami bukan bangsa yang akan terus dibungkam. Kami akan membalas.”

Di dunia tempat Israel bisa membombardir Gaza hampir setiap minggu tanpa konsekuensi, Iran kini berdiri sebagai satu-satunya negara Muslim yang tak hanya mengecam, tetapi juga bertindak.

Demokrasi yang Dibalas Fitnah dan Sanksi

Ironis, negara yang sering dicap "anti-demokrasi" oleh Barat justru secara rutin menggelar pemilu—presiden, parlemen, hingga Majelis Ahli.

Namun, karena Iran tidak tunduk pada dominasi Barat, ia dianggap ancaman.

Balasan dari dunia Barat: Ilmuwan nuklir dibunuh, Fasilitas nuklir disabotase, Ekonomi dijatuhkan lewat sanksi menyeluruh, bahkan menyasar barang-barang medis dan kebutuhan pokok rakyat.

Amerika tidak berhenti di sanksi ekonomi. Mereka mencoba mengguncang Iran dari dalam melalui dua alat utama:

1. MEK (Mujahidin Khalq): kelompok oposisi radikal yang tak punya legitimasi di dalam negeri, tapi didanai dan dijual sebagai "pembawa harapan."

2. Reza Pahlavi: putra Shah Iran yang digulingkan pada 1979, kini ditampilkan dalam forum-forum sebagai "pemimpin alternatif".

Tujuannya jelas: mengembalikan Iran ke masa monarki, tunduk, dan pro-Barat.

Senjata Lama: Fitnah Mazhab

Ketika sanksi dan sabotase gagal, mereka mainkan kartu sektarian. Narasi lama dikumandangkan ulang:

“Syiah Iran bukan bagian dari Islam.”

Narasi ini menyebar luas di media sosial, disuarakan oleh influencer dan akun anonim, memperkeruh suasana dan memecah persatuan umat.

Padahal, Iran mendukung Hamas dan Jihad Islami—dua kelompok perlawanan Palestina yang notabene Sunni. Sementara banyak negara Sunni justru menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Rudal-Rudal Iran: Simbol Kedaulatan

Serangan rudal Iran bukan untuk memicu perang, tapi menunjukkan bahwa dunia Islam masih punya harga diri.

Rudal itu bukan sekadar senjata. Itu adalah simbol kedaulatan.

Itu adalah pesan bahwa muslim pun bisa bicara dalam bahasa yang dimengerti para penjajah: kekuatan.

Saatnya Umat Islam Melek dan Merdeka

Iran bukan negara yang sempurna. Namun yang ditakutkan Barat bukan ajaran Syiah-nya, tapi keberaniannya untuk merdeka.

Iran adalah simbol bahwa negara Islam bisa berdiri tanpa harus sujud kepada Washington maupun Tel Aviv.

Kita sebagai umat harus sadar: Jangan mudah terhasut narasi mazhab, Jangan ikut-ikutan menyebar kebencian sektarian, Jangan jadi pion dalam permainan musuh.

Solidaritas Tanpa Syarat

Jika kita benar-benar peduli terhadap nasib rakyat Palestina, masa depan dunia Islam, dan kehormatan umat di hadapan kekuatan global, maka kita harus berdiri bersama kebenaran, bukan bersama propaganda.

Karena musuh sejati kita bukanlah beda mazhab,

melainkan mereka yang ingin kita terus bertengkar agar mereka terus berkuasa.

"Siapa yang mencintai keadilan, akan mencintai keteguhan Iran. Siapa yang mencintai Palestina, akan mengerti kenapa rudal itu diluncurkan."

Wallohu a'lam

Arijalusshobirin, S.H. : Penyuluh Agama Islam Penggerak Moderasi Beragama di Arjawinangun



ketakketikmustopa.com, Di tengah riuh zaman yang sering memicu polarisasi dan prasangka, sosok-sosok penyambung harmoni menjadi cahaya yang menenangkan. Di Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, hadir sosok Arijalusshobirin, S.H., atau yang akrab disapa Kang Rijal—seorang Penyuluh Agama Islam yang tak hanya menjalankan tugas seremonial keagamaan, tetapi juga menggeliat sebagai motor penggerak moderasi beragama yang hidup dan nyata.



Dengan landasan cinta tanah air dan semangat keberagaman, Kang Rijal menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya potensi disintegrasi sosial. Melalui PERAGA—komunitas Penggerak Keberagaman Arjawinangun—ia menggagas ruang perjumpaan antariman, antarbudaya, dan antarwarna pikiran. Di komunitas ini, tokoh agama, pemuda lintas iman, hingga masyarakat umum bersatu dalam dialog dan aksi, menyulam tenun kebangsaan yang semakin kuat.

“Moderasi beragama adalah jalan tengah yang harus terus kita hidupkan,” ujar Kang Rijal. “Kami ingin masyarakat tidak terjebak dalam ekstremisme, baik yang terlalu ketat maupun yang terlalu longgar.”

Pernyataan tersebut bukan sekadar slogan. Dalam praktiknya, Kang Rijal turun langsung ke akar rumput: menghadiri forum keagamaan lintas iman, memfasilitasi bakti sosial bersama, hingga menjadi mediator dalam konflik berbasis agama yang mengintai masyarakat akar rumput. Di tengah tantangan seperti hoaks yang mengadu domba, ujaran kebencian di media sosial, dan sempitnya literasi keagamaan, Kang Rijal hadir sebagai peneduh—mengedepankan pendekatan humanis, persuasif, dan musyawarah.

Tidak hanya menyampaikan dakwah di masjid atau majelis taklim, Kang Rijal menjadikan seluruh ruang sosial sebagai ladang dakwah perdamaian. Ia menunjukkan bahwa tugas penyuluh agama tidak selesai pada khutbah dan ceramah, melainkan pada keteladanan dan kepeloporan dalam membangun harmoni.

“Kerukunan itu bukan sekadar teori. Ia harus diwujudkan lewat aksi, kolaborasi, dan keterlibatan nyata. Melalui PERAGA, kami ingin membuktikan bahwa perbedaan bukan ancaman, tapi kekayaan,” imbuhnya.

Keuletan dan konsistensinya menjadikan nama Kang Rijal harum di tengah masyarakat Arjawinangun. Ia dianggap bukan hanya penyuluh agama, tapi penyuluh kehidupan. Sosok yang mampu menembus sekat-sekat identitas dan memeluk semua dengan semangat kebersamaan.

Tentu perjuangannya belum selesai. Ancaman radikalisme, intoleransi, dan eksklusivisme masih terus mengintai. Namun Kang Rijal percaya, selama masih ada ruang dialog, harapan selalu hidup. Selama masih ada penyuluh yang tidak hanya bicara, tetapi juga bergerak, maka Indonesia yang rukun dan damai bukan sekadar cita-cita, tapi keniscayaan.

Semoga langkah Kang Rijal menjadi teladan, bahwa menjaga Indonesia bukan hanya tugas negara, tapi panggilan nurani setiap warga. Dan bagi para penyuluh agama di seluruh pelosok negeri, kisah ini adalah cermin bahwa tugas mereka jauh lebih besar daripada sekadar membacakan naskah ceramah—tugas mereka adalah membangun jembatan di atas sungai perbedaan.

Musabaqoh Tilawatil Qur'an dan Hadits Bukan Sekedar Kompetisi: Sambutan KDM pada MTQH Ke-39


Gambar hanyalah pemanis tampilan 


Di tengah-tengah Ara peserta MTQH dan para tamu undangan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) memberikan sambutan pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an dan Hadist (MTQH) ke-39 yang digelar di Dome Bali Home, Soreang, Kabupaten Bandung pada pada Minggu kemarin (15 Juni 2025). Dalam sambutannya yang menyentuh hati, beliau menekankan bahwa Musabaqoh bukanlah sekadar ajang perlombaan, apalagi sebatas mencari siapa juara umum atau siapa yang menduduki juara pertama.

“Musabaqah ini bukan forum balapan Formula A juga bukan forum Liga Sepak Bola, tapi ini forum spiritualitas,” tegas Kang Dedi Mulyadi. Kalimat ini bukan retorika kosong, melainkan sebuah penegasan bahwa tujuan utama MTQH adalah menginternalisasi nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis ke dalam kehidupan nyata—bukan hanya mempercantik lantunan, tetapi memperdalam penghayatan.

Yang paling penting, lanjut Kang Dedi, bagaimana nilai-nilai Al-Qur’an mampu masuk dan meresap ke dalam diri setiap panitia, peserta, hingga pemimpin daerah termasuk gubernur Jawa Barat. 

“Al-Qur’an masuk ke dalam diri Ketua Panitia sehingga jadilah ketua panitia yang adil dalam segala tindakannya. Al-Qur’an masuk dalam cahaya diri Gubernur Jawa Barat sehingga gubernur Jawa Barat adil dalam kebijakan-kebijakannya,” ucapnya dengan penuh semangat.

Pernyataan ini menjadi kritik halus namun dalam terhadap budaya ‘kompetisi semata’ yang seringkali mengaburkan nilai hakiki dari sebuah perhelatan keagamaan. MTQH sejatinya adalah medan untuk menyuburkan akhlak, menumbuhkan kesadaran spiritual, serta memperkuat tali ukhuwah.

Ketika Al-Qur’an dijadikan pedoman dalam bersikap dan memimpin, maka sejatinya nilai MTQH telah hidup dalam denyut nadi masyarakat, bukan hanya bergema di panggung-panggung lomba.

Inilah pesan yang mestinya menjadi ruh dari setiap kegiatan keagamaan: bukan siapa yang paling merdu suaranya, tapi siapa yang paling mampu menanamkan nilai-nilai suci Al-Qur’an dalam laku hidup sehari-hari.

Wallohu a'lam 

Tiba-Tiba Kampung Pakuan KDM Menjadi Magnet Desa Wisata Yang Mempesona

Gambar: rombongan keluarga berfose di depan tugu Taman Bunisora Kampung Pakuan


Perbincangan hangat hari-hari in tentang Lembur Pakuan Kampungnya Pak KDM. Nama ini kini tak lagi asing di telinga banyak orang. Ia disebut-sebut di pasar-pasar, didiskusikan di warung kopi, bahkan jadi bahan konten para influencer dan vloger perjalanan.

Kampung yang dulunya mungkin hanya dikenal oleh warga kampung saja, kini menjelma menjadi ikon wisata baru Jawa Barat, Semua ini tidak lepas dari peran besar Kang Dedi Mulyadi (KDM)—tokoh budaya Sunda yang kini kembali menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Belum genap 100 hari menjabat, berbagai gebrakannya sudah mengguncang publik. Mulai dari membebaskan pajak kendaraan mati yang justru menyumbang pendapatan daerah ratusan miliar, hingga ide barak pendidikan bergaya militer untuk anak-anak bermasalah. Program-programnya unik, menyentuh akar, dan terkesan “gila”—dalam arti positif.

Namun yang paling kentara adalah bagaimana ia memoles kampung kelahirannya menjadi cermin percontohan yang membanggakan. Kampung Pakuan kini tampil mempesona. Sawah-sawah terbentang luas seperti permadani hijau, dihiasi galengan yang bersih dan jalan desa yang sudah di-hotmix. Irigasi tak hanya berfungsi, tapi juga indah dipandang. Warga setempat menyambut ramah, lingkungan terjaga, dan nilai-nilai budaya Sunda dihidupkan kembali dalam bentuk yang relevan dengan zaman.

Kami dan keluarga membuktikannya sendiri. Sore hari menjelang Maghrib (15 Juni 2025), kami tiba di sana dengan tiga mobil. Sepanjang jalan penuh kendaraan. Tempat parkir nyaris tak tersisa. Suasana ramai tapi damai. Tua, muda, anak-anak, semua larut dalam kebahagiaan yang sederhana: menikmati kampung yang "bercerita".

Kami sempat mengabadikan momen di Tugu Bunisora—simbol kebanggaan lembur Pakuwan yang berdiri kokoh. Sayangnya, karena waktu terbatas, kami belum sempat menyusuri sawah-sawah atau mampir ke rumah sang tuan rumah, KDM. Tapi sore kami tetap ditutup sempurna dengan menyantap sate Maranggi khas Pakuan.

Yang mengejutkan, salah satu penjual sate mengaku bisa meraup omset harian hingga Rp100 juta. Angka fantastis untuk skala pedesaan. Bayangkan total perputaran uang yang terjadi tiap akhir pekan di sana—warung kopi, kerajinan lokal, jajanan khas, oleh-oleh—semua hidup. Semua bergerak.

Kampung Pakuan bukan hanya tempat liburan, tapi juga laboratorium sosial. Ia membuktikan bahwa desa bisa menjadi pusat ekonomi, pusat budaya, dan pusat pembelajaran. Bahwa pembangunan tak selalu harus dengan bantuan pemerintah pusat, tapi cukup dengan nilai-nilai yang membumi: kebersihan, keteraturan, keramahan, dan cinta pada akar budaya.

Di tengah krisis identitas dan alienasi budaya, Kampung Pakuan memberi pelajaran penting: jika desa dirawat dengan hati, maka ia bisa menjadi cahaya yang menerangi banyak kota.

Wallohu a'lam

Kemajuan Peradaban Islam di Indonesia


Sejarah Islam pernah mencatat masa keemasan yang luar biasa. Pada abad ke-8 hingga ke-13 M, Baghdad—di bawah Dinasti Abbasiyah—menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, kedokteran, matematika, hingga astronomi. Kota ini dikenal dengan Bayt al-Hikmah (House of Wisdom), tempat para ilmuwan dari berbagai latar belakang mengembangkan ilmu secara lintas budaya dan bahasa.

Gambar: Prof. Dr. Phill. H. Syahiron, MA. Sedang menggunting pita tanda diresmikannya STAI NU Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon.

Setelah Baghdad, peradaban Islam terus menyala, kali ini berpindah ke Mesir, dengan Universitas Al-Azhar sebagai pusat kajian Islam dunia yang berdiri sejak abad ke-10. Al-Azhar menjadi simbol keilmuan Islam yang kokoh, moderat, dan tahan zaman. Keduanya menjadi bukti bahwa peradaban Islam bisa tumbuh besar saat berpijak pada ilmu dan nilai-nilai kebajikan.

Namun sejarah tidak berhenti di sana.

Kini, dunia menatap ke Timur jauh, ke sebuah negeri maritim yang luas dan kaya budaya: Indonesia. Bukan tanpa alasan, harapan besar tentang kebangkitan peradaban Islam di masa depan tertuju pada Indonesia. Dalam sambutannya pada acara Launching STAI NU Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon (12 Juni 2025), Prof. Dr. Phill.  Sahiron, M.A., Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama RI, mengutip pemikiran intelektual Muslim modern, Fazlur Rahman. Menurut Rahman, terdapat dua prasyarat utama untuk membangun sebuah peradaban Islam yang maju: tradisi kecintaan menuntut ilmu dan sikap moderat.

1. Kecintaan Menuntut Ilmu: Warisan yang Terus Tumbuh

Indonesia dikenal sebagai negeri yang mencintai ilmu. Dari masa ke masa, semangat belajar masyarakat Muslim Indonesia tidak pernah padam. Pesantren—lembaga pendidikan khas Nusantara—telah berabad-abad menjadi pusat pengembangan ilmu agama dan nilai-nilai kehidupan. Ulama-ulama seperti KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama; KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; hingga cendekiawan progresif seperti: KH. Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdullah Amin dll. telah membentuk wajah Islam Indonesia yang intelektual, humanis, dan terbuka.

Tradisi ini berlanjut dalam bentuk perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta, seperti UIN, IAIN, STAI, hingga universitas berbasis pesantren. Bahkan, Indonesia kini mulai aktif dalam percakapan global mengenai Islam wasathiyah (moderat), baik dalam bidang akademik, dakwah, maupun sosial kemasyarakatan. Kegemaran menuntut ilmu telah menjadi budaya, bukan hanya kewajiban.

2. Sikap Moderat: Warisan Para Wali yang Tetap Hidup

Peradaban besar hanya bisa berdiri di atas fondasi stabil: harmoni sosial. Indonesia memiliki modal besar dalam hal ini. Watak masyarakat Muslim Indonesia, yang diwarisi dari dakwah para Walisongo pada abad ke-15, adalah watak moderat, santun, dan akomodatif terhadap budaya lokal.

Para Walisongo menyebarkan Islam bukan dengan kekerasan, tapi dengan budaya, seni, dan pendidikan. Spirit inilah yang dihidupkan oleh organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU), yang kini memiliki basis massa sekitar 65% dari umat Islam Indonesia. NU menjadi simbol nyata dari Islam rahmatan lil alamin, yang tidak hanya menjaga tradisi keilmuan dan keagamaan, tetapi juga merawat kebhinekaan dan toleransi.

Sikap moderat ini adalah kekuatan moral dan kultural Indonesia. Di tengah meningkatnya ekstremisme global, Indonesia justru tampil sebagai model keberagamaan yang sejuk dan damai. Dunia kini mencari teladan baru, dan Indonesia punya peluang besar untuk menyediakannya.

3. Infrastruktur Sosial-Religius: Tanah Subur untuk Peradaban

Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki infrastruktur sosial dan religius yang luas. Ribuan pesantren, lembaga zakat dan wakaf, masjid, madrasah, dan kampus Islam telah tersebar merata dari kota hingga desa. Jika dikelola secara profesional dan visioner, jaringan ini bisa menjadi sistem pendukung bagi tumbuhnya peradaban Islam kontemporer.

Lebih dari itu, Indonesia telah masuk dalam percaturan intelektual global. Buku-buku karya cendekiawan Muslim Indonesia mulai diterjemahkan ke berbagai bahasa. Delegasi Indonesia di forum internasional tentang Islam kerap mendapat apresiasi karena membawa gagasan segar yang tidak ekstrem, tapi progresif dan solutif.

Indonesia, Cahaya Baru Peradaban Islam

Kita tak lagi sekadar mengenang keemasan Baghdad dan Al-Azhar sebagai lambang kejayaan peradaban Islam. Kini, kita mesti menyiapkan diri untuk menjadi bagian dari sejarah baru itu. Indonesia memiliki semua syarat untuk menjadi pusat peradaban Islam masa depan: ilmu pengetahuan, toleransi, kekuatan sosial, dan semangat kebersamaan.

Dr. Asyrofi, M.Pd atas nama panitia launcing membacakan SK No: 056/SK/K.YKP/VI/2025 Tentang: Pengangkatan Jabatan Struktural STAI NU Assalafie.

Adapun Susunan Struktural Pejabat STAI NU Assalafie sbb:

Ketua : Dr. H. Amin Maulana,MA

Wk.1 : Dr. Asyrofi, M.Pd.I

Wk.2 : M.Nurrarrouf,M.H

Wk.3 : H.Ibnu Muzaki,Lc,M.H

Kabiro Umum : Himawan, M.Pd.I

LP3M : Rohmatulloh, M.Pd.I

LPM : Shoimin,M.Hum

Kaprodi MPI : Sukron Ma'mun,M.Pd.I

Kaprodi Ekosy : H.Fauzan,LC,M.A

Struktur Yayasan Kebajikan Pesantren sbb:

Pembina : KH.Azka Hamam Syaerozi 

Pengawas : KH.Yasyif Maemun Syaerozi 

Ketua : Dr.KH.Arwani Syaerozi


Ketua STAI NU Assalafie yang baru saja dikukuhkan mengatakan: "Masih banyak tantangan yang harus dihadapi:  kemiskinan, ketimpangan akses pendidikan, hingga globalisasi budaya yang kadang menggerus nilai-nilai luhur. Namun, jika seluruh elemen bangsa—ulama, intelektual, pemerintah, dan masyarakat—bersatu dalam visi yang sama, maka Indonesia akan mampu mengangkat Islam ke panggung tertinggi peradaban dunia."

"Mari kita tidak hanya menjadi pewaris kejayaan, tetapi juga pembangun masa depan. Karena suatu hari nanti, bukan tidak mungkin orakng-orang akan berkata: Dulu Baghdad dan Mesir, kini cahaya peradaban Islam datang dari Indonesia."

Wallahu a'lam

Menapaki Tangga Ilmu: Jalan Panjang Menuju Profesor


Bagi banyak insan akademik, menyandang gelar Profesor atau Guru Besar adalah impian puncak dalam perjalanan karier intelektual. Gelar ini bukan sekadar kebanggaan pribadi, melainkan simbol dari ketekunan, dedikasi, dan kontribusi nyata dalam ranah keilmuan. Tidak mengherankan jika dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia, seorang rektor dan wakil rektor bahkan disyaratkan telah menyandang gelar ini.




Namun siapa sangka, dalam pengalaman penulis, momen yang mengubah hidup itu datang secara mengejutkan. Pada tanggal 15 November 2024, penulis mendapati status Jabatan Fungsional saya tertulis sebagai “Profesor,” lengkap dengan angka kredit 850. Yang lebih mengejutkan: jabatan itu telah berlaku sejak 1 Januari 2024—hampir setahun sebelumnya.

Padahal, saya belum pernah secara formal mengajukan diri untuk menjadi Guru Besar. Bahkan secara administratif, saya masih bergelar S2. Maka muncul pertanyaan besar: bagaimana mungkin jabfung Profesor bisa muncul begitu saja?

Jawabannya ada dalam rekam jejak panjang aktivitas akademik yang penulis jalani, yang diam-diam tercatat, terdokumentasi, dan terakumulasi.

Buku-Buku dan Bukti Cinta pada Ilmu

Sejak awal saya berkiprah di STID Al-Biruni Babakan Ciwaringin, menulis adalah napas  dalam aktivitas saya. Hingga hari ini, saya telah:

1. Menulis lebih dari 90 Chapter Book ber-ISBN

2. Menyusun 3 buku bahan ajar untuk mata kuliah

3. Menulis 7 buku ber-HKI

4. Menyusun 2 buku profil desa

4. Menerbitkan 3 buku puisi

5. Menulis 9 artikel jurnal ilmiah

6. Menulis buku biografi Bupati Cirebon

7. Menulis 7 buku novel islami

8. Aktif dalam penulisan profil desa dan dokumentasi akademik lainnya

Menulis bukan hanya kewajiban, tapi panggilan jiwa. Ia adalah wujud cinta pada ilmu, bangsa, dan generasi mendatang.

Penghargaan dan Kiprah Global

Dedikasi tersebut tidak berlalu begitu saja. Saya pernah mendapat:

1. Mendapatkan penghargaan Albiruni Award 2022 sebagai “Dosen Penulis Buku Terbanyak”

2. Mendapatkan Penghargaan atas Apresiasi untuk partisipasi dalam 3 jam baca puisi, membacakan buku karya sendiri: "Antologi Puisi Cinta untuk Baginda Nabi Muhammad SAW" tahun 2023.

3. Kesempatan mengikuti short course di Tiongkok tahun 2009

Dan masih banyak aktivitas lain yang tercatat dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) sebagai bentuk nyata dari Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Profesor: Bukan Sekadar Gelar, Tapi Amanah

Masih banyak yang mengira gelar profesor adalah gelar kehormatan. Padahal, ia adalah jabatan fungsional akademik tertinggi yang diperoleh dari akumulasi kerja ilmiah yang terukur dan terdokumentasi. Setiap aktivitas dosen memiliki bobot angka kredit (KUM), seperti:

Mengajar 2 SKS = 2 KUM

Menulis 1 buku ISBN = 20 KUM

Memberi khutbah Jumat rutin selama 1 tahun = 1 KUM

Dengan semangat kontribusi, seorang dosen bisa mengumpulkan puluhan hingga ratusan KUM per tahun. Hingga akhirnya:

Asisten Ahli: 150 KUM

Lektor: 200–300 KUM

Lektor Kepala: 400–850 KUM

Guru Besar / Profesor: 850–1.000 KUM

Saat saya menelusuri data PDDIKTI, ternyata akumulasi KUM saya telah mencapai angka 850. Inilah pintu menuju jabfung Profesor yang terbuka—tanpa saya mengajukannya lebih dulu.

Lebih dari SK: Peran Intelektual dan Sosial

Profesor bukan hanya soal SK atau tunjangan. Ini adalah tanggung jawab besar. Ia harus menjadi:

1. Pengajar yang mencerahkan

2. Peneliti yang menggugah

3. Pengabdi masyarakat yang menginspirasi

Setiap tulisan, khutbah, pelatihan masyarakat, hingga kontribusi di forum ilmiah adalah bentuk ibadah intelektual. Tidak jarang, rezeki dosen datang bukan dari gaji, tetapi dari keberkahan ilmunya. Seperti kata seorang kiai: “Kalau jadi dosen, rezekinya sering tidak terduga. Ilmu yang dibagi dengan ikhlas akan kembali dalam bentuk penghormatan dan keberkahan.”

Membangun Masa Depan Akademik Lewat Jabfung

Mengapa jabfung penting?

Karena ia tidak hanya menentukan nasib pribadi dosen, tapi juga masa depan institusi. Misalnya:

Untuk menjadi institut, sebuah kampus harus memiliki minimal 2 dosen Lektor Kepala atau Doktor

Untuk membuka program S2, kampus wajib memiliki minimal 1 Profesor dan 2 Doktor

Maka, dukungan institusi terhadap peningkatan jabatan fungsional dosen adalah investasi strategis. Administrasi harus dipermudah, pelatihan diperbanyak, dan budaya akademik diperkuat.

Penutup: Mari Menapaki Tangga Ilmu dengan Gairah dan Iman

Profesor bukanlah puncak keangkuhan, tapi titik kulminasi dari pelayanan ilmiah. Ia adalah amanah besar yang hanya bisa dipikul oleh mereka yang bersedia melayani ilmu dan masyarakat dengan sepenuh hati.

Mari kita:

1. Mengajar dengan dedikasi

2. Meneliti untuk solusi

3. Mengabdi dengan ketulusan

4. Mendokumentasikan semua kontribusi kita

Jabatan fungsional bukan tujuan akhir, tetapi jalan panjang yang mulia. Maka, mari kita tempuh jalan itu dengan tekad yang lurus, niat yang benar, dan semangat yang menyala—demi Indonesia yang lebih cerdas, mandiri, dan bermartabat.

Wallohu a'lam 

Bersembunyi di Tempat Terang: Obrolan Reoni Tipis-Tipis di Tegalgubug

Gambar dari Kanan ke Kiri: R. Asep Sohibul Saefillah, Mustopa, Siad Kaskay, Ahmad Fikriyan


Tidak ada hujan, tak ada angin, rumah Mustopa di Tegalgubug mendadak kedatangan tamu-tamu spesial: sahabat-sahabat lama Banser Tempo Doeloe. Ada Kang Fikriyan yang tenang namun penuh daya juang, Kang R. Asep Sohibul Saefillah si pengamat peta politik NU dan PKB Cirebon, dan tentu saja, tak ketinggalan, Kang Siad Kaskay—jurus lidahnya masih tajam, arah pembicaraannya seperti sungai yang tampak tenang tapi berarus deras.

Tuan rumah, Mustopa, datang agak telat, membawa lima bungkus bubur sop ayam. Sebuah kejutan yang sederhana tapi hangat, seperti suasana malam itu. Bubur ayam yang mengepul disantap dengan tawa kecil, ditutup dengan kesegaran es orson yang menggoda. Dan setelah itu, dimulailah dunia persilatan lidah, seperti masa-masa ketika mereka masih aktif di Ansor Banser Kabupaten Cirebon: menjaga, mengawal, bahkan terkadang hanya duduk bersila di teras rumah Mustopa sambil memikirkan arah gerakan ke depan.

Obrolan ringan pun bergulir. Namun seperti biasa, dari obrolan ringan itulah seringkali muncul gagasan besar.

Kang Siad Kaskay membuka tema malam itu: “Bersembunyi di Tempat Terang.” Judul yang terdengar filosofis, tapi justru sangat membumi. Menurutnya, sebagai orang NU, tidak elok jika terlalu grasah-grusuh ingin memimpin. “Pemimpin itu bukan tentang ambisi, tapi kesiapan. Kapanpun para sepuh memanggil, kita harus siap,” kata Kang Siad, sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Candaan pun mengiringi, saat Mustopa menyela, “Kang Siad, bukan Kang Said, ya.”

Kang R Asep Sohibul Saefillah, si ‘raden’ pemikir, tak kalah tajam. Ia memetakan bagaimana hubungan NU dan PKB di Cirebon sudah sedemikian lekat—bahkan kadang terlalu lekat, hingga NU nyaris kehilangan otonominya sebagai gerakan. Tapi Kang Asep tidak melulu mengkritik; ia menyampaikan harapan, bahwa NU perlu mempertegas kembali garis juangnya, agar tak larut sebagai bayangan partai dan kental politiknya.

Berbeda dari keduanya, Kang Ahmad Fikriyan datang dengan energi yang khas: tenang, ulet, dan sangat terorganisir. Di tangannyalah banyak dokumentasi kegiatan NU dan Banser tersimpan rapi. Ia bukan hanya saksi sejarah, tapi juga penjaga memori gerakan. Sosok semacam ini langka: tak banyak bicara, tapi gerakannya mencerminkan konsistensi dan ketulusan.


Semangat menyala Ansor Banser dari orang-orang lugu angkatan 1985 hingga sekarang.


Reoni malam ini memang "tipis-tipis", tapi justru di situlah maknanya. Dari percakapan ringan seperti ini, muncul kesadaran bahwa menjadi bagian dari NU, dari Banser, adalah tentang kesetiaan dalam keheningan. Tentang perjuangan yang tidak selalu tampak. Tentang pilihan untuk tetap bersembunyi di tempat terang—karena dalam terang itulah, seseorang kadang harus belajar menahan diri, tidak tampil, namun tetap bekerja dan siap sedia ketika dipanggil.

Diskusi pun ditutup dengan video call hangat bersama sesepuh Banser dari Losari, KH. Muhari Joko Poleng. Suaranya bergetar tapi tegas, mengingatkan bahwa perjuangan belum usai, dan generasi kini harus melanjutkan estafet itu tanpa saling menyingkirkan, tanpa tergoda panggung yang gemerlap.

Malam ini, di rumah sederhana Mustopa, tidak ada panggung, tidak ada mikrofon, hanya teras rumah dan gelas plastik berisi es orson. Tapi dari tempat itulah, semangat itu kembali menyala. Reoni kecil ini hanyalah awal. Sebuah awalan menuju Reoni Besar Ansor Banser Tempo Doeloe. Dan mungkin, dari ruang-ruang kecil seperti ini, sejarah besar kembali digerakkan—dengan cara yang sunyi, tapi tak pernah sepi makna.

Wallohu a'lam