Sinopsis novel
Senja telah undur diri. Malam melangkah masuk dengan lembut, membalut bumi dengan hening dan sejuk. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Pak Hermawan dan istrinya, Sulistiyawati, tengah duduk berhadapan di meja makan. Ketiga anak mereka — Ruli, Irma, dan si bungsu Andi — semuanya telah tertidur setelah lelah belajar dan bermain seharian.
Di antara sendok dan piring yang mulai kosong, Sulistiyawati menatap wajah suaminya. Mata itu masih sama seperti dua puluh tahun silam, saat pertama kali ia memilih lelaki itu sebagai teman hidup.
"Mas Hermawan... boleh aku usul sesuatu malam ini?" Tanyanya, lirih namun penuh makna.
Hermawan meletakkan sendoknya, mengangguk pelan.
"Tentu, Sulis. Usul apa, istriku sayang?"
Kata Pak Hermawan.
"Aku ingin kita menulis... tentang kekurangan satu sama lain,"
Ucapnya hati-hati.
"Bukan untuk saling menyakiti, tapi agar kita bisa saling memahami lebih dalam. Janji ya, tidak ada yang boleh tersinggung?"
Hermawan tersenyum kecil.
“Kalau itu membuat hatimu lebih tenang, aku setuju.”
Jawab Pak Hermawan.
Sulis berdiri mengambil dua lembar kertas kosong dari laci ruang tamu dan dua pulpen yang biasa dipakai Irma untuk mencatat PR. Ia meletakkan keduanya di meja, dan mereka pun mulai menulis.
Tiga puluh menit berlalu. Hanya suara jam dinding yang terdengar, dan sesekali hembusan angin malam dari jendela yang belum ditutup.
"Mas, aku sudah selesai..."
"Aku juga,"
Jawab Hermawan.
"Baiklah, kita tukar kertas ini, tapi jangan dibaca di sini. Aku akan membacanya di dapur, dan Mas bacalah di kamar. Sendiri-sendiri saja, biar bisa lebih jernih mencerna..."
Hermawan mencium kening istrinya, lalu berjalan pelan ke kamar. Sulis pun menuju dapur, duduk di bangku rotan yang biasa dipakainya menyiangi sayur pagi.
Hermawan membuka kertas itu. Di sana tertulis hal-hal kecil yang selama ini luput dari perhatiannya: bagaimana Sulis merasa lelah mengurus rumah dan anak-anak tapi tak pernah mengeluh, bagaimana ia kadang merasa sendiri saat Hermawan terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tentang tutur kata yang kadang kurang lembut, tentang lupa ulang tahun, tentang janji jalan-jalan yang terus tertunda.
Air mata menetes. Bukan karena marah, tapi karena sadar: ternyata ada luka-luka kecil di hati istrinya yang tak pernah ia obati. Ia terlalu fokus menjadi pencari nafkah, sampai lupa menjadi peneduh jiwa.
Sementara itu, Sulistiyawati membuka kertas milik Hermawan. Kosong. Hampa. Tanpa satu kata pun. Ia terdiam. Bingung. Antara kecewa atau marah, tapi lebih banyak bertanya-tanya: mengapa? Padahal ia sudah membuka semua kekurangan suaminya dengan jujur. Haruskah ia merasa bersalah?
Ia melangkah menuju kamar. Wajahnya masam.
"Mas Hermawan... sudah dibaca?"
Pak Hermawan hanya mengangguk, matanya masih basah.
"Sudah, Sulis... Maafkan aku... aku benar-benar minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang engkau dambakan. Aku tak pernah tahu bahwa selama ini ada banyak hal kecil yang menyakitimu."
Sulis menatapnya, hatinya sesak.
“Tapi... mengapa Mas tidak menulis apapun? Padahal aku sudah menuliskan semua tentang Mas...”
Pak Hermawan menggenggam tangan istrinya.
"Sulis... Aku memang membaca semua kekurangan yang kau tulis tentangku. Dan semua itu benar. Aku memang punya banyak celah, banyak salah. Tapi ketika harus menulis tentang kekuranganmu... Aku tak mampu.
Bukan karena engkau sempurna, bukan pula karena aku buta. Tapi karena aku telah menerima dirimu apa adanya. Setiap lelahmu, setiap keluhanmu, setiap tangismu — semuanya bagian dari perjalanan cinta kita. Dan jika ada kekurangan di dirimu, aku ingin menjadi pelengkapnya. Bukan penghakimnya.
Aku tak menulis apa-apa karena hatiku sudah terlalu penuh oleh syukur. Syukur karena engkau memilihku, karena engkau bersedia melewati hari-hari susah bersamaku, karena engkau menjadi ibu bagi anak-anak kita: Ruli yang mulai berani bertanya tentang dunia, Irma yang mulai pandai menulis puisi kecil, dan Andi... si kecil yang selalu menunggu peluk hangatmu setiap malam.
Sulis, aku mencintaimu bukan karena engkau tanpa cela, tapi karena engkau adalah cinta yang tak pernah menyerah meski penuh luka. Dan aku tahu... Tuhan telah mempertemukan kita bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk saling menguatkan."
**
Air mata pun pecah dari mata Sulis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu bersimpuh di pelukan suaminya. Tangisnya adalah tangis penerimaan, tangis syukur, tangis yang hanya bisa muncul saat cinta menemukan rumahnya.
Malam itu, di bawah cahaya lampu yang redup, mereka saling menggenggam erat. Bukan untuk meminta, tapi untuk memberi. Bukan untuk menuntut, tapi untuk memahami.
Cinta dalam rumah tangga bukanlah tentang siapa yang paling benar, bukan pula tentang siapa yang paling banyak berkorban.
Tapi tentang siapa yang paling mau memaafkan. Paling sabar menunggu. Paling tulus memberi ruang.
Banyak rumah tangga rusak bukan karena kurang cinta, tapi karena terlalu banyak ego dan terlalu sedikit pengertian.
Mari kita mencintai pasangan kita apa adanya, bukan ada apanya. Karena jika kau terus mencari yang sempurna, kau akan kehilangan yang terbaik.
Cinta sejati tidak butuh daftar kekurangan,
karena ia hadir untuk saling melengkapi, bukan saling mencela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar