Ketika dunia pendidikan terguncang oleh pandemi global, banyak lembaga limbung—termasuk pesantren. Namun, dari guncangan itu pula muncul semangat baru: Pesantren Go Digital. Sebuah ikhtiar yang lahir dari kebutuhan, tetapi berkembang menjadi strategi jangka panjang. Di sinilah pesantren menapakkan kakinya dalam pusaran revolusi teknologi tanpa harus kehilangan ruh keilmuannya.
Tradisi Tak Harus Tertinggal
Pesantren telah lama dikenal sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam klasik. Kitab kuning, metode sorogan dan bandongan, serta relasi intelektual antara kiai dan santri menjadi warisan tak ternilai. Namun, apakah semua itu bertentangan dengan digitalisasi? Tentu tidak.
Teknologi digital justru membuka ruang baru untuk merawat dan menyebarkan khazanah tersebut. Banyak pesantren kini mendigitalisasi kitab-kitab kuning, mengarsipkan pengajian melalui kanal YouTube, bahkan membuka kelas daring lintas negara. Tradisi tetap hidup, hanya mediumnya yang berganti.
Sebagaimana prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah (melestarikan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik), digitalisasi adalah jalan tengah antara menjaga dan membarui.
Santri Era Digital
Santri masa kini tidak hanya diajarkan memahami teks klasik, tetapi juga bagaimana menyampaikan dakwah di ruang digital. Mereka mulai belajar membuat konten dakwah, memproduksi podcast, bahkan membangun aplikasi Islami. Di beberapa pesantren seperti Tebu Ireng, Gontor, dan Nurul Jadid, pembelajaran coding, literasi media, dan wirausaha digital mulai diintegrasikan ke dalam kurikulum.
Fenomena ini menjawab pertanyaan lama: apakah lulusan pesantren bisa bersaing di era digital? Jawabannya bukan hanya bisa, tapi juga berkontribusi membentuk arah moral dan etika ruang digital.
Tantangan yang Tak Ringan
Meski arah transformasi ini menjanjikan, tidak semua pesantren memiliki infrastruktur memadai. Akses internet, perangkat digital, dan pelatihan sumber daya manusia masih menjadi pekerjaan rumah besar. Di sinilah peran strategis negara, swasta, dan masyarakat sipil untuk mendukung digitalisasi pesantren secara merata.
Lebih dari itu, resistensi kultural juga sering muncul. Tidak semua kiai atau pengajar siap beralih ke pembelajaran berbasis daring. Maka pendekatan inklusif-kultural diperlukan, yakni membangun transformasi berbasis nilai, bukan hanya alat.
Penutup: Menuju Peradaban Baru
Pesantren tidak lagi hanya penjaga masa lalu, tetapi juga peletak dasar peradaban masa depan. Dengan teknologi, pesantren bisa menjangkau lebih banyak santri, menyebarkan ilmu ke berbagai pelosok dunia, dan mencetak dai-dai milenial yang fasih dalam tradisi dan teknologi.
Pesantren Go Digital bukan akhir dari tradisi, melainkan awal dari transformasi. Di titik inilah, pesantren menjadi oase—bukan hanya spiritual, tapi juga intelektual—di tengah kegersangan informasi zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar