SANG KYAI (Sinopsis Film dari kisah Biografi KH. Hasyim Asy'ari)

Gambar hanyalah pemanis tampilan


Sinopsis Film

Tahun 1942, langit Nusantara diselimuti awan kelabu penjajahan. Pasukan Jepang menggantikan Belanda sebagai penguasa, namun rakyat tidak merasakan pembebasan—hanya ganti penindas. Di antara kebijakan-kebijakan yang menekan, pemerintah militer Jepang mengeluarkan larangan mengibarkan bendera Merah Putih. Mereka juga memerintahkan rakyat melakukan Seikerei—membungkukkan badan menghadap ke arah matahari terbit sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar.

Bagi KH. Hasyim Asy’ari, ulama besar, pendiri Nahdlatul Ulama, dan tokoh yang disegani rakyat, perintah itu adalah bentuk penyimpangan akidah yang tidak bisa ditawar. Baginya, tunduk kepada selain Allah adalah kemusyrikan. Penolakan itu menjadi simbol perlawanan moral yang berani di tengah ancaman kekerasan.

Keputusan beliau dibayar mahal. Tentara Jepang menangkap dan memenjarakannya, memisahkannya dari keluarga dan para santri. Kabar penangkapan sang kiai membakar semangat di pesantren Tebuireng. Harun, seorang santri muda yang memiliki kedekatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, merasa tidak bisa tinggal diam. Bersama kawan-kawannya, ia menggalang kekuatan, mengajak para santri dan warga untuk turun ke jalan, menuntut pembebasan sang guru.

Namun, idealisme dan keberanian mereka berhadapan dengan realitas brutal. Aksi itu berubah menjadi tragedi berdarah. Banyak nyawa santri melayang, tubuh-tubuh muda rebah di tanah yang mereka cintai. Jerit tangis bercampur pekik takbir mengiringi pengorbanan itu.

Film SANG KYAI memotret kisah nyata yang sarat dengan nilai sejarah, agama, dan kemanusiaan. Bukan sekadar kisah perang fisik, tetapi perjuangan mempertahankan prinsip iman dan harga diri bangsa. Dialog-dialognya padat makna, mengalirkan pesan moral yang menembus hati penonton.

Aktor dan aktris memerankan tokohnya dengan total, menghidupkan suasana masa itu seolah nyata kembali. Penampilan Christine Hakim sebagai Nyai Kapu, istri KH. Hasyim Asy’ari, menjadi salah satu titik emosi terkuat dalam film. Akting tangisnya pada adegan kehilangan membuat penonton larut dalam rasa pedih yang mencekik dada.

Setting latar dan detail produksi menghadirkan suasana era 1940-an secara meyakinkan—mulai dari arsitektur bangunan, pakaian, hingga bahasa tubuh para tokohnya. Meski terdapat sedikit efek CGI yang tidak terlalu halus, penggunaannya minim dan tidak mengurangi kekuatan cerita.

Film ini memiliki banyak adegan yang menguras air mata, terutama tiga adegan kematian yang masing-masing menggores luka di hati penonton. Adegan kematian terakhir menjadi klimaks emosional yang paling menghunjam—membuat air mata tumpah deras diiringi lantunan OST dari Ungu yang begitu pas, menyatu dengan setiap denyut cerita.

Tak mengherankan, SANG KYAI meraih penghargaan Film Terbaik FFI 2013. Lebih dari sekadar tontonan, film ini adalah penghormatan bagi para ulama, santri, dan rakyat yang mempertaruhkan segalanya demi keyakinan dan kemerdekaan. Ia menjadi pengingat bahwa kebebasan tidak hanya diperjuangkan dengan senjata, tetapi juga dengan keteguhan hati, keikhlasan berkorban, dan iman yang tak tergoyahkan.

Wallohu a'lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar