Sinopsis Novel
Raka masih ingat betul aroma buku-buku baru yang memenuhi udara setiap awal masuk tahun pelajaran baru.
Apalagi bunyi lonceng sekolah yang melengking dari kejauhan selalu mengingatkannya pada mimpi-mimpi besar yang ia tuliskan rapi di belakang sampul buku.
Bukti Raka punya cita-cita besar berupa kata-kata yang tidak biasa di anak seusia SMP.
"Ingin jadi orang hebat, agar Ibu tak perlu menangis lagi."
Itu adalah cita-citanya—sebuah harapan besar untuk membahagiakan ibunya. Namun, hidup tidak selalu berjalan nulus seperti yang kita rencanakan.
Setelah Ayah pergi tanpa pesan entah ke mana, rumah mereka terasa sepi. Meja makan yang dulu penuh tawa kini hanya menyisakan sendok-sendok yang tergeletak begitu saja. Semua berubah begitu cepat. Raka yang seharusnya masih menikmati masa kecilnya dengan bermain gundu di tanah lapang, kini harus menggantikan peran Ayah. Dia menggenggam cangkul lebih erat daripada pena, menukar jam pelajaran dengan deru pasar dan ladang yang membakar kulitnya.
Seragam putih birunya—yang dulu disetrika Ibu dengan penuh cinta—kini tergantung di balik pintu, menyaksikan kesedihan yang tak pernah bisa disembunyikan. Seragam itu menjadi simbol dari keinginan yang terlupakan, dari mimpi yang terkubur di dalam hati Raka. Malam-malam dingin datang, dan Raka merasa semakin jauh dari dunia yang dulu ia impikan dan cita-citakan.
Suatu sore yang biasa, ketika matahari mulai condong ke barat dan angin meniupkan debu ke pekarangan rumah, terdengar ketukan di pintu. Tidak ada yang mengharapkan kedatangan tamu, tetapi suara itu membawa harapan yang tak terduga.
“Assalamu'alaikum...”
Suara itu lembut, seolah membawa kabar yang lama dinanti.
Ibu, yang tengah sibuk menjahit sobekan baju Raka, menoleh. Jari-jarinya berhenti bergerak. Perlahan, ia membuka pintu, menahan napas. Di sana berdiri seorang pria mengenakan batik, membawa tas selempang penuh buku. Wajahnya teduh, namun matanya memancarkan harapan.
“Perkenalkan, Bu,”
Kata pria itu sambil merapikan lengan batiknya.
“Saya Zaina, dosen dari STID Al-Biruni Cirebon. Saya mendengar tentang anak Ibu, Raka. Tentang semangat belajarnya yang luar biasa, meskipun dia sudah tidak sekolah lagi.”
Ibu Ratna terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya mulai basah, tapi ia berusaha menyembunyikannya.
Pak Zainal melanjutkan,
“Kami di STID Al-Biruni mendengar tentang Raka, dan kami ingin membantu. Kami ingin agar Raka melanjutkan sekolah lagi, bahkan kuliah di STID Al-Biruni sampai selesai. Biayanya, insya Allah, akan kami tanggung sepenuhnya.”
Kata-kata itu mengalir begitu saja, namun membawa dampak yang sangat besar. Raka yang sejak tadi mengintip dari balik ruang, kini mendekat. Hatinya berdebar, tak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Sungguh, Pak? Beneran pak? Saya… saya masih boleh sekolah lagi?”
Suara Raka pecah di ujung kalimatnya.
Pak Zain menatapnya dengan penuh kasih, lalu berlutut sejajar dengan tubuh mungil Raka.
"Lebih dari itu, Raka. Kami ingin kau melanjutkan sekolah, hingga kuliah. Kami ingin kau bermimpi setinggi mungkin. Dunia membutuhkan anak-anak sepertimu.”
Kata Pak Zaenal.
Ibu Ratna tidak bisa lagi menahan air matanya. Tangannya gemetar, namun ia segera merangkul Raka dengan penuh kasih. Di dalam hatinya, ia mengucap syukur yang tak terhingga. Ini adalah jawaban dari Allah SWT yang selama ini ia harapkan, di tengah segala kesulitan dan keputusasaan.
Raka menatap Pak Zainal dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa seolah-olah mimpi-mimpi yang selama ini terkubur kini kembali hidup.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih, Ibu. Saya… saya akan berjuang. Untuk Ibu. Untuk Ayah. Untuk semua orang yang mempercayakan mimpi ini kepada saya.”
Ucap Raka.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Raka membuka buku-bukunya lagi. Tangannya gemetar saat membalik halaman, seolah setiap huruf memanggil-manggilnya untuk kembali mengejar mimpi-mimpi yang sempat hilang. Ia menulis di atas selembar kertas dengan tinta yang penuh semangat.
"Aku ingin jadi orang yang berguna. Aku ingin membahagiakan Ibu. Aku ingin menghidupkan mimpi-mimpi kecil yang pernah kupendam."
Ucap Raka penuh semangat.
Seragam putih biru yang dulu tergantung di balik pintu kini kembali ia kenakan, meski penuh debu dan kenangan pahit. Namun seragam itu kini memiliki arti baru. Itu bukan lagi sekadar simbol dari keputusasaan, melainkan bendera kecil yang berkibar di hati Raka, membawa harapan baru bagi masa depannya.
Hari-hari berikutnya, Raka kembali ke sekolah. Ia berlari menyusuri jalanan berbatu, melewati sawah yang menguning, melewati pasar yang ramai, menuju sebuah bangunan sederhana dengan papan bertuliskan “SMP Cendekia 2.”
Para guru terkejut melihat anak yang dulu menghilang, kini kembali dengan semangat yang membara.
Raka tahu, ini baru awal dari perjalanannya. Ia bermimpi untuk melanjutkan sekolah hingga kuliah di STID Al-Biruni, untuk mempelajari ilmu agama dan ilmu dakwah. Ia ingin mengubah nasib, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk anak-anak lain yang hampir tenggelam dalam kemiskinan.
Dalam hatinya, Raka berjanji:
"Aku akan berjuang, bukan hanya untuk diriku, tapi untuk semua mimpi yang pernah ditinggalkan di balik pintu."
Seragam itu... yang dulu menjadi saksi duka, kini menjadi bendera kemenangan kecil yang berkibar di hati seorang anak laki-laki bernama Raka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar