Luka Jadi Pelita

 


Sinopsis Novel 

Senja menyelimuti Kota Cirebon, membalut kota kecil dengan warna ungu dan jingga yang dramatis. 30 KM ke arah Barat sebuah kampus Dakwah STID Al-Biruni berlangsung seminar nasional literasi, Sebagai pembicara dari ibu kota dialah Aruna, Aruna adalah seorang penulis muda "Best Seller" terkenal sedang naik daun, berbalut gaun sutra biru dongker elegan, berdiri tegak di atas panggung. Cahaya sorot lampu menyinari wajahnya yang tenang namun berwibawa. Ia bukan sekadar penulis terkenal, ia adalah simbol dari luka yang menjelma cahaya.

Di antara kerumunan peserta seminar literasi nasional, tampak Pak Budi, editornya yang setia, duduk berdampingan dengan Sarah, sahabat kuliah Aruna yang selalu hadir di masa-masa terberatnya. Tak jauh dari mereka, seorang pria berjas abu dan kacamata tipis mencuri perhatian banyak orang: Herlambang, kekasih Aruna sekaligus CEO sebuah penerbitan ternama, LembarKata Publishing.

Aruna memulai presentasinya di hadapan ratusan para mahasiswa STID Al-Biruni.

"Saudara-saudara sekalian, para mahasiswa yang saya hormati, Sebenarnya saya bukan siapa-siapa, di sini," 

Ucapnya lembut namun penuh daya. 

"Waktu di SMA dulu, saya seorang pemalu yang selalu jadi bahan bully dan olok-olok. Setiap hari, setiap saya berangkat ke sekolah seperti berjalan ke medan perang."

Aruna berhenti sejenak.

“Namanya Maya. Dia dulu ratu ketua geng cabe rawit di sekolah kami. Cantik, cerdas, tapi lidahnya tajam seperti pisau. Bersama gengnya, setiap hari Maya menciptakan neraka di setiap lorong sekolah.”

Wajah-wajah hadirin peserta seminar tiba-tiba  menegang. Suara Aruna seperti sulap, menarik mereka ke masa lalu kelam yang pekat menjadi penasaran ingin tahu.

"Suatu hari, saya menulis puisi untuk menenangkan diri dari bully. Saya sembunyikan di balik buku, tapi Maya dan gengnya  menemukannya... dan membacakannya keras-keras di depan kelas. Mereka tertawa. Saya lari ke kamar mandi dan menangis seharian. Tapi dari hari itu, saya berjanji, saya akan membuat dunia mendengarkan tulisan-tulisan saya—bukan untuk balas dendam, tapi untuk menyembuhkan dan menenangkan hati."

Tepuk tangan riuh menyambut kisah itu. Herlambang tersenyum dari tempat duduknya, matanya menatap Aruna penuh kekaguman. Di benaknya terputar saat-saat awal Herlambang bertemu dengan Aruna di acara peluncuran buku. Aruna kala itu belum terkenal, namun tulisannya membuat Herlambang merasa seolah dunia berhenti berputar. Herlambang tertarik dengan tulisan-tulisan Aruna.

Setelah Seminar Literasi Kampus STID Al-Biruni usai, kerumunan peserta seminar mengelilingi Aruna minta tanda tangan. Tiba-tiba, dari balik barisan, muncullah seorang wanita dengan setelan modis dan senyum yang agak kaku. Maya.

"Aruna? Wah... aku sangat mengagumimu sekarang," 

Kata Maya dengan nada ramah yang terdengar dibuat-buat. 

"Apa kau tertarik kolaborasi? Aku sedang memimpin proyek literasi digital. Kupikir ini bisa jadi peluang besar untuk kita berdua."

Aruna mematung sesaat, lalu menatap Maya. Matanya dalam, tenang, dan tegas.

"Kau ingat saat kau membacakan puisiku di depan kelas, membully dan menertawakan aku bersama teman-temanmu?"

Maya menunduk, wajahnya pucat.

"Aruna… aku menyesal. Aku minta maaf..."

Kata Maya penuh penyesalan.

Kemudian Aruna melanjutkan ucapannya.

"Kau menyiksaku selama bertahun-tahun di sekolah dulu" 

Aruna melanjutkan kata-katanya. 

"Dan sekarang kau datang dengan tawaran kolaborasi, seolah tak ada apa-apa?"

Maya gelagapan. 

"Maafkan aku Aruna atas kenakalanku dulu, Aku ingin memperbaiki semuanya Aruna."

Aruna menarik napas, lalu tersenyum tipis.

"Maaf bukan berarti aku harus membuka pintu yang pernah kututup rapat. Aku menulis buku bukan untuk mengejar popularitas, tapi untuk menyembuhkan luka—luka lama yang sebagian besar berasal dari tingkahmu."

Tiba-tiba, Herlambang melangkah mendekat, merangkul lembut bahu Aruna.

Herlambang berujar:

"Maya, sekarang Aruna tak sendirian,"  

Herlambang menatap Maya terus berkata: 

"Aruna telah menjadi cahaya bukan karena dia diberi jalan mudah, tapi karena dia membakar luka-lukanya menjadi nyala yang menginspirasi."

Maya terdiam. Tak ada kata yang cukup. Ia melangkah mundur, hilang dalam kerumunan.

Aruna menoleh ke Herlambang dan tersenyum kecil.

"Terima kasih Herlambang kamu sudah datang"

Kata Aruna.

Herlambang membalas:

"Selalu, so pasti untuk pujaan hati pasti aku datang"   

Herlambang bertubi-tubi melontarkan pujian:

"Kau pelita yang tak akan padam, penulis best seller yang sedang digandrungi para mahasiswa dan remaja."

Malam itu, Aruna masih menginap di Mess Kampus Al-Biruni untuk sebuah projek penelitian di kampus STID Al-Biruni Cirebon, Malam itu kampus Al-Biruni menyala bukan hanya oleh lampu malam, tapi oleh sosok seorang perempuan yang memberikan banyak inspirasi kepada banyak orang khususnya untuk STID Al-Biruni.

Projek kerjasama antara STID Al-Biruni dengan Penerbit Lembarkata Publishing dalam hal "Analisis Interaksi Dakwah Hikam TV STID Al-Biruni di Platform Digital: Studi Netnografi pada Komentar dan Respon Netizen"

Dengan demikian kunjungan Aruna di Kampus STID Al-Biruni membuktikan jika luka yang selama ini dipendam, akhirnya bisa menjadi pelita yang menerangi dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar