Peran Santri Dalam Merawat Indonesia
-Mustopa-
Negeri ini menyimpan banyak peristiwa yang harus kita teladani dari para tokoh pejuang dahulu, tentang bagaimana, bagaimana berjuang mengusir penjajah, bagaimana merumuskan hidup bersama, dan bagaimana harus merawat negeri ini. Semuanya menjadi faktor penguat langgengnya sebuah negeri yang sekarang kita sebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para tokoh tersebut diantaranya para kyai dan santri.
Tentara Belanda menjajah dan menguasai selama 350 tahun membuat bumi putera menderita, setelah Belanda datang juga tentara Jepang kurang lebih 4,5 tahun menguasai negeri ini. Peran para para kyai, para santri dan rakyat pada saat itu mengusir para penjajah hingga mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat bahwa setelah negeri ini merdeka, Belanda masih setengah hati ingin menguasai lagi negeri ini.
Pertempuran 10 November 1945 tidak akan pernah terjadi tanpa adanya “Resolusi Jihad” yang digagas para santri Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945. Pada waktu itu bendera berkibar di tiang Hotel Orangje dirobek warna birunya hngga menyisakan warna merah putih.
Selain itu, ada juga peristiwa perebutan senjata tentara Jepang tanggal 23 September 1945[1] mendorong Presiden Soekarno berkonsultasi dengan Hadrotusy Syeikh KH. Hasyim Asy’ari saat itu menjabat sebagai Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). KH. Hasyim Asy’ari juga memiliki kedekatan dengan para pejuang seperti Bung Tomo dan Jendral Soedirman. Bahkan beberapa kali Bung Tomo datang pada beliau membahas strategi pertempuran melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Soekarno melalui surat yang dibawa utusannya menanyakan bagaimana hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Dengan tegas KH. Hasyim Asy’ari menjawab bahwa umat Islam harus mempertahankan negaranya dari ancaman asing. Tepatnya pada tanggal 17 September 1945, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah yang lebih dikenal dengan Resolusi Jihad.
Peristiwa Resolusi Jihad yang sekarang kita kenal dengan peringatan Hari Santri Nasional. Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 22 Oktober merupakan wujud pengakuan negara atas peran kebangsaan santri dalam sejarah politik di negeri ini. Dasar ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai hari santri karena tanggal tersebut KH Hasyim Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menetapkan resolusi jihad melawan pasukan Belanda di Surabaya Jawa Timur
Pada tanggal 22 Oktober 1945 dihasilkan catatan tentang pokok-pokok kewajiban umat Islam dalam berjihad mempertahankan bangsa dan negara. Seruan jihad disampaikan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai bentuk komitmen dan kewajiban umat Islam untuk mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia yang sudah merdeka. Resolusi jihad menjadi pemacu semangat perlawanan ntri dan srakyat kepada Belanda yang mencoba kembali masuk ke wilayah Indonesia. Puncak perlawanan arek-arek Surabaya pada tanggal 10 Oktober 1945 yang selanjutnya dijadikan sebagai Hari Pahlawan.
Situasi politik setelah kemerdekaan dari era Soekarno yang lebih dikenal dengan era Orde Lama dilanjutkan ke era Soeharto yang lebih dikenal dengan era Orde Baru kurang lebih selama 32 tahun. Di masa akhir Orde Baru ini situasinya terasa panas dipicu oleh ekonomi yang terus merosot, kenaikan harga barang dan anjloknya nilai mata uang rupiah. Dugaan korupsi yang mengakar hingga tindakan refresif yang membuat membuat suasana tidak kondusif mengakibatkan krisis moneter.
Kondisi yang rumit ini, para kyai dan ulama dalam hal ini para kyai Nahdlatul Ulama berupaya mewujudkan adanya gerakan reformasi. Disebutkan dalam buku Ensiklopedia NU (2014), para kyai melakukan pertemuan khusus pada hari Senin tanggal 11 Mei 1998 di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur yang diasuh oleh salah seorang Kyai Khos, yaitu KH. Abdullah Faqih. Yang dibicarakan pada pertemuan tersebut mengenai situasi terakhir yang sedang berkembang yaitu tuntutan perubahan untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran.
Era reformasi ditandai juga dengan lengsernya Presiden Soeharto dan sebagai penggantinya Bapak BJ Habibi. Meski singkat, masa pemerintahan Habibie krusial. Dia menjadi kunci masa transisi Indonesia dari rezim Orde Baru ke masa Reformasi. BJ Habibi memerintah hanya 17 bulan yaitu 21 Mei 1998 sampai 20 Oktober 1999.
Presiden berikutnya atau Gusdur (1999 – 2011), dari Gusdur ke Ibu Megawati Soekarno Puteri (2001 – 2004, berikutnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono atau SBY (2004 – 2014), Dan Presiden yang ke-7 yaitu Joko Widodo atau Jokowi (2014 – sekarang).
Dilihat dari perjalanan bangsa ini baik itu pergantian Presiden maupun Wakil Presiden dari periode satu ke periode berikutnya melahirkan banyak tokoh santri seperti, Presiden KH. Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden H. Hamzah Haz, Wakil Presiden H. Yusuf Kala dan Prof. Dr. KH. Makruf Amin. Di tingkat gubernur, bupati sampai kepala desa banyak dipimpin dari kalangan santri.
Sejarah berbangsa dan bernegara di negeri ini menjadi bukti kuat tonggak peran santri dalam merawat Indonesia. Seperti yang diungkapkan Milal Bizawie dalam bukunya bahwa,[2] negara Indonesia tidak dibangun hanya dengan perjuangan senjata saja, tapi dibangun melalui kekuatan doa dan tirakat golongan santri.[3] Badan Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI) beranggotakan 68 orang dan belasan diantaranya adalah santri ada, KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Masykur, KH. Abdul Malik Kahar Muzakir, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Mas Mansur, Sukiman Wirjosandjojo dari PII, Abikusno Tjokrosujoso dari PSII, Haji Agus Salim dari Pergerakan Penyadar, serta KH Ahmad Sanusi dan KH Abdul Halim.
Hari ini kita sebagai santri sudah tidak berperang lagi melawan penjajah, untuk meneruskan estafet perjuangan peran kita sebagai santri berkewajiban melawan kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, korupsi, dan lain-lain. Ini semua menjadi PR bagi kita semua. Untuk melunasi PR tersebut, santri harus menjaga dan merawat negeri ini dengan mengisi posisi-posisi di berbagai bidang, lintas sektoral. Ada yang mengurusi agama, ada yang mengurusi politik, ada yang mengurusi ekonomi, ada yang mengurusi sosial, hukum, budaya, kesehatan, ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi dengan tetap agama sebagai pegangan kaum santri. Sampai kapan pun santri tidak perlu diragukan lagi dan bukti nyata santri telah merawat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Farobi, Zulham, Sejarah Wali Songo: Perjalanan Penyebaran
Agama Islam di Nusantara, Penerbit Anak Hebat Indonesia, 20019.
2.
Karina, Walisongo Penyebar Islam, IAIN Syarif Kasim, Riau, 2019
3.
Bizawie, Milal, Pahlawan
Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional, Pustaka Compass, 2016
4.
Kompas, 9 Mei 2016
5. Fadma Yulista dan Agus
Trilaksana, Jurnal Pendidikan Sejarah, Volume 5, No. 3, Oktober 2017
[1] Fadma Yulista dan Agus
Trilaksana, Jurnal Pendidikan Sejarah, Volume 5, No. 3, Oktober 2017
[2] Bizawie, Milal, Pahlawan Santri:
Tulang Punggung Pergerakan Nasional, Pustaka Compass, 2016
[3] Kompas, 9 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar