Pawai Cinta Anak KDM: Pernikahan Maula dan Puteri



Di bawah langit Garut yang berselimut awan lembut dan desir angin dari kaki Gunung Cikuray yang bersaksi diam-diam, sebuah janji suci terucap penuh khidmat. Tak ada gemuruh sorak sorai yang mewah, tak juga dentuman pesta yang hampa makna. Namun gema ijab kabul dari Maula Akbar, putra dari tokoh kebudayaan dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, menggema ke seantero hati rakyat. Ia bukan sekadar janji dua insan, tapi ikrar antara cinta dan tanah kelahiran, antara kasih dan kebudayaan, antara dua hati yang ingin menenun makna lebih dalam dari sekadar pernikahan.

Di hadapan para saksi, keluarga, dan rakyat yang hadir sebagai tamu agung, Maula melafalkan:

"Saya terima nikahnya Luthfianisa Putri Karlina binti Karyoto dengan maskawin tersebut tunai."

Hening sesaat menjadi syahdu, sebelum derai doa mengalir dari bibir-bibir yang menyaksikan. Di tangan Maula, maskawin bukan sekadar materi, melainkan simbol filosofi cinta yang menumbuhkan:

90 gram logam mulia, 9 ekor sapi, 9 ekor domba Garut, 9 ekor ayam pelung Cianjur, 9 tambunan bibit ikan gurame, 99 jenis bibit buah kayu lokal, dan 9 jenis bibit padi lokal...

Bukan sekadar angka-angka yang terkesan mistik, tapi representasi dari kehidupan, keberlanjutan, dan kearifan lokal. Cinta yang mereka ikat bukan hanya untuk mereka berdua, tetapi cinta yang menyentuh bumi, menumbuhkan harapan, dan menyuburkan kebersamaan. Ini bukan pesta elit—ini adalah pawai cinta, di mana rakyat ikut berjalan dalam iring-iringan harapan.

Putri Karlina, Wakil Bupati Garut yang juga pendamping hidup Maula, tak menjadikan pernikahan ini hanya miliknya. Ia bersuara lembut namun tegas:

“Awalnya kami ingin akad di KUA secara sederhana, namun orang tua dan semangat rakyat membuat kami sadar bahwa pernikahan ini bisa jadi perayaan untuk banyak orang.”

Maka dipilihlah Pendopo Garut, bukan hanya sebagai tempat, tetapi sebagai simbol—bahwa rumah rakyat adalah tempat terbaik untuk mengikrarkan cinta yang tulus. Tak ada karpet merah, yang ada adalah hamparan bambu dari Selaawi, disusun indah oleh tangan-tangan seniman Garut yang bersahaja namun penuh cita. Mereka, yang biasa berkarya dalam diam, hari itu diberi panggung oleh cinta yang mengakar pada bumi sendiri.

Bambu, kulit, rajutan rotan, dan ukiran halus tangan pelajar Purwakarta, semua hadir sebagai suvenir cinta. Tidak ada yang sia-sia; tidak ada yang dikorbankan. Bahkan ekonomi lokal pun ikut bernafas dalam pelaminan yang berpijak pada tanah sendiri.

Pernikahan ini menolak menjadi ajang pamer status sosial. Ia justru menjelma menjadi panggung budaya, tempat nilai-nilai leluhur berbicara lewat ornamen, aroma masakan tradisional, musik calung, dan senyum anak-anak desa yang menari riang dalam pesta rakyat. Cinta ini bukan konsumsi eksklusif, tapi sajian inklusif, tempat siapa pun boleh bersaksi bahwa cinta sejati tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari niat yang sungguh-sungguh untuk berbagi.

Ada yang menyebut ini sebagai pencitraan. Tapi rakyat tahu, bahwa pencitraan tanpa kedalaman nilai akan segera pudar, seperti lukisan yang luntur oleh hujan. Namun cinta yang ditanam dalam budaya dan disiram oleh semangat kebersamaan, akan tumbuh menjadi pohon kehidupan—meneduhkan siapa pun yang berteduh di bawahnya.

Di tengah zaman ketika pernikahan seringkali hanya sebatas seremoni tanpa narasi, pernikahan Maula dan Putri hadir sebagai manifesto kebudayaan dan keberpihakan. Ia bukan hanya menyatukan dua hati, tapi menghubungkan dua daerah: Purwakarta dan Garut; dua suku: Sunda dan Jawa; dua keluarga yang menjadikan rakyat sebagai keluarga besar mereka.

Dan di langit malam Pendopo Garut, ketika cahaya lampu menyatu dengan cahaya bulan, rakyat menyaksikan: bahwa cinta bisa sederhana tapi agung, bisa rakyat tapi megah, bisa lokal tapi mendunia. Sebab cinta sejati adalah cinta yang berpijak di bumi tapi bermimpi menembus langit.

Inilah Pawai Cinta Anak KDM.

Sebuah pawai yang bukan diiringi kendaraan hias, tapi nilai-nilai luhur yang dibawa dalam hati, fengan lagu rakyat sebagai irama, dan doa masyarakat sebagai nyanyian pengantarnya.

Sebuah cinta yang tidak hanya ingin bahagia, tetapi juga ingin membahagiakan.

Sebuah cinta yang tidak ingin sekadar dikenang, tetapi terus berdampak.

Selamat menempuh hidup baru, Maula dan Putri.

Semoga cinta kalian terus berputar seperti roda kereta pawai, berjalan pelan namun pasti, menuju masa depan yang penuh makna dan manfaat.

3 komentar:

  1. Pak gak tertarik bikin tulisan tentang anak2 mapalangit ta pak? Hehe. Makasih...

    BalasHapus
  2. Kalau nulis bukunya seperti: Fikih untuk Para Pendaki. Pasti menarik, tapi sayang ga ada yang sukung

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah, saya selalu mengikuti tulisan Anda Prof. Sudah ada 58 judul yang saya himpun di folder laptop saya. Barokallah fik.

    BalasHapus