Tahun 1980-an. Belum ada internet, belum ada HP, bahkan listrik pun masih jadi wacana di Desa Ciuyah Kecamatan Waled Kabupaten Cirebon. Tapi semangat orang tua buat menyekolahkan anaknya, Jangan ditanya! Bahkan semangatnya mengalahkan orang antre minyak goreng zaman sekarang.
Pagi-pagi buta, jam 03.45 WIB, kampung masih gelap gulita. Tapi dari kejauhan, sudah tampak cahaya kecil berkerlap-kerlip seperti kunang-kunang—bukan, itu bukan bintang jatuh. Itu oncor! Deretan lampu bambu berisi minyak tanah dinyalakan dan dibawa satu-satu oleh para orang tua yang mau rebutan kursi di SDN 1 Ciuyah.
Adalah Pak Asmadi, petani sederhana yang sejak semalam sudah deg-degan. Hari ini, anak semata wayangnya, Sarman, akan masuk SD kelas 1. Sebelum adzan subuh berkumandang, dia sudah bersiap: oncor, termos kopi, nasi jagung, dan selimut bekas karung goni buat jaga-jaga kalau harus tidur di sekolah.
“Bu, agian! Mun telat saeutik, budak moal kabagiana bangku nu rabig!”
(Bu, Cepat! Kalau telat sedikit, anakmu bisa kebagian kursi yang jebol, tahu!)
Pak Asmadi menyeret Sarman yang masih ngucek-ngucek mata, mereka melangkah ke SDN 1 Ciuyah, satu-satunya sekolah di desa itu. Jalanan becek, suara jangkrik masih merajai malam. Tapi hati Pak Asmadi membara. Demi masa depan anak!
Sesampainya di sekolah, what a surprise!
Sudah ramai, seperti pasar tumpah!
Ada yang bawa tikar dan masak mi instan, ada yang gelar kasur kecil di depan kelas, bahkan ada yang bawa ayam jago entah buat apa—mungkin buat jampi-jampi biar anaknya pintar.
Yang bikin heboh: rebutan kursi!
Baru saja Pak Asmadi masuk kelas, eh, kursi paling depan sudah diblokir emak-emak yang duduk bersila di atasnya sambil pegang sapu lidi.
“Minggir ya! Kursi ini buat anak saya! Saya udah nunggu dari jam 1 malam!”
Di sudut lain, Pak Salimin dan Bu Romlah mulai adu suara.
“Eh, jangan seenaknya naruh batu di kursi! Ini bukan tempat ziarah kubur!”
“Lho, lho, lho! Saya tadi udah nulis nama pakai kapur, lho! Anak saya itu prioritas RT 02!”
Cekcok mulai panas. Kursi ditarik ke kanan, ditarik ke kiri. Ada yang sampai tersandung kaki meja, terjatuh, bangun lagi sambil ngedumel.
Untungnya, Pak RT datang dengan hansip kampung, lengkap dengan topi miring dan pentungan bambu. Dengan suara lantang, dia berkata:
“Woy, ini bukan rebutan warisan! Ini sekolah! Ayolah, kita musyawarah! Jangan bikin malu anak-anak sendiri!”
Hansip pun ikut berjaga. Tapi Hansipnya malah ketiduran di depan papan tulis karena ikut begadang juga.
Akhirnya, setelah 30 menit suasana panas, Pak RT mengambil alih komando: kursi diacak ulang, diundi pakai kertas gulungan. Yang dapat kursi jebol pun tetap bersyukur, asal jangan duduknya jongkok.
Tapi puncaknya, saat Bu Karsih—yang dari awal heboh—menyadari bahwa ternyata dia salah sekolah.
“Lho, ini SDN 1 Ciuyah ya? Kirain SDN 3! Aduh, anak saya di mana to?”
Gelak tawa pecah!
Kegelapan pagi, kecapekan, rebutan kursi, dan deru oncor… mendadak pecah jadi suasana kocak penuh tawa dan kelegaan. Para orang tua tertawa terbahak-bahak, saling sindir, saling peluk.
“Tos lah, nu penting budak bisa sakola. Kursi bodol ge teu naon-naon, nu penting bisa nulis!”
Sementara itu, Sarman, anak Pak Asmadi… justru tertidur di pojokan sambil peluk tas kaleng biskuit Khong Guan. Di pipinya masih nempel sisa nasi jagung, dan di tangannya masih memegang pensil—yang ternyata bekas korekan oncor.
Begitulah hari pertama sekolah di tahun 1980-an. Tak ada seragam mewah, tak ada sepatu, tak ada kamera selfie, tak ada Instagram Story. Tapi ada cinta, ada semangat, ada tawa tulus dari orang tua yang rela berkorban demi seonggok kursi—dan seonggok harapan untuk masa depan anaknya.
Nah Loch, yang masuk SD tahun 1980 berarti sekarang udah tua ya, ayo ngacung...!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar