Gambar hanyalah pemanis tampilan
Cerpen Ramadhan Hari Ke-27
ketakketikmustopa.com, Menjelang Hari Raya Idul Fitri, suasana di rumah Pak Amran mulai terasa sibuk. Aroma rempah-rempah dari dapur menyebar ke seluruh ruangan, menandakan istrinya tengah memasak opor ayam dan rendang—hidangan khas yang selalu menemani ketupat saat Lebaran.
Sementara itu, anak-anaknya, Farhan dan Aisyah, duduk di ruang tengah, sibuk dengan ponsel mereka. Pak Amran memperhatikan mereka sejenak, lalu menghela napas. Ia teringat masa kecilnya, ketika seluruh keluarga bergotong royong membuat ketupat. Dulu, tradisi ini sangat kental di kampungnya. Hampir setiap rumah menganyam janur bersama, memasak ketupat dalam panci besar, lalu membagikannya ke sanak saudara dan tetangga.
Sekarang? Hampir semua orang lebih memilih membeli ketupat jadi di pasar. Praktis, tapi kehilangan makna kebersamaannya.
Pak Amran melangkah ke belakang rumah, mengambil beberapa lembar janur yang sudah ia siapkan sejak pagi. Ia kembali ke ruang tengah dan memanggil anak-anaknya.
"Coba sini, ambilkan daun janur yang sudah Ayah ambil dari pohon kelapa di belakang," katanya.
Farhan dan Aisyah saling pandang, bingung.
"Ayah mau buat apa?"
Tanya Aisyah.
"Kita akan belajar membuat ketupat,"
Jawab Pak Amran sambil tersenyum.
Farhan mengernyitkan dahi.
"Kenapa harus repot-repot, Yah? Sekarang kan banyak yang jual ketupat di pasar."
Pak Amran tersenyum, mulai menganyam janur dengan cekatan.
"Nak, kalian tahu tidak? Ketupat ini bukan sekadar makanan. Ada filosofi mendalam di baliknya."
Aisyah dan Farhan mulai tertarik.
"Filosofi apa, Yah?"
Tanya Farhan.
"Pertama, ketupat berasal dari kata kupat, yang dalam bahasa Jawa berarti ngaku lepat, atau mengakui kesalahan. Itulah sebabnya ketupat selalu hadir saat Lebaran, karena di hari kemenangan ini kita saling memaafkan."
Aisyah mengangguk.
"Jadi, ketupat mengingatkan kita untuk saling memaafkan?"
"Tepat,"
Kata Pak Amran.
"Lihat juga bentuknya. Anyaman yang rumit melambangkan kesalahan manusia yang saling terkait. Tapi setelah dibuka, isinya putih bersih. Ini melambangkan hati yang kembali suci setelah kita saling bermaaf-maafan."
Farhan menatap ketupat di tangan ayahnya dengan kagum.
"Aku baru tahu kalau ketupat punya makna seperti itu."
Pak Amran tersenyum.
"Karena itulah Ayah ingin kalian belajar membuat ketupat. Jika kita hanya membeli tanpa memahami filosofinya, lama-lama tradisi ini akan hilang."
Farhan dan Aisyah akhirnya mencoba menganyam janur seperti yang diajarkan ayahnya. Awalnya sulit, janur mereka patah atau anyamannya tidak rapi. Namun, Pak Amran dengan sabar membimbing mereka, hingga akhirnya ketupat pertama buatan mereka berhasil terbentuk.
Sambil menemani anak-anaknya belajar, Pak Amran kembali mengenang masa kecilnya.
"Dulu, saat ketupat dan opor ayam sudah matang, kami tidak langsung makan sendiri. Ibu dan Bapak selalu menyiapkan beberapa bungkus untuk dikirim ke mertua, saudara, dan tetangga. Saat itu, Lebaran benar-benar terasa sebagai momen kebersamaan."
Aisyah tersenyum.
"Berarti dulu Lebaran lebih seru ya, Yah?"
Pak Amran mengangguk.
"Betul. Tidak ada yang merasa lebih kaya atau lebih miskin. Semua saling berbagi rezeki, menjaga harmoni dalam masyarakat. Rasanya begitu indah."
Farhan berpikir sejenak.
"Sekarang banyak orang lebih sibuk update media sosial daripada berbagi seperti dulu."
Pak Amran menghela napas.
"Itulah yang Ayah khawatirkan. Tradisi berbagi dan gotong royong semakin memudar. Padahal, inilah yang membuat kita semakin kuat sebagai umat dan bangsa."
Malam takbiran tiba. Aroma ketupat yang sudah matang menyebar ke seluruh rumah. Suara takbir dari masjid menggema, membawa suasana yang penuh haru.
Pagi harinya, setelah salat Idul Fitri, Pak Amran mengajak Farhan dan Aisyah mengantarkan ketupat ke rumah saudara dan tetangga. Mereka menyaksikan wajah-wajah bahagia yang menerima ketupat buatan mereka.
"Ingat, Nak,"
Pesan Pak Amran.
"Ketupat bukan hanya makanan. Ia adalah simbol kebersamaan, keikhlasan, dan persaudaraan. Jangan sampai kalian menjadi generasi yang hanya makan, tanpa memahami makna di baliknya."
Farhan dan Aisyah tersenyum. Mereka kini memahami bahwa ketupat bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang nilai yang harus dijaga. Dan mereka berjanji, tradisi ini tidak akan hilang begitu saja.
-Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar