Bersembunyi di Tempat Terang: Obrolan Reoni Tipis-Tipis di Tegalgubug

Gambar dari Kanan ke Kiri: R. Asep Sohibul Saefillah, Mustopa, Siad Kaskay, Ahmad Fikriyan


Tidak ada hujan, tak ada angin, rumah Mustopa di Tegalgubug mendadak kedatangan tamu-tamu spesial: sahabat-sahabat lama Banser Tempo Doeloe. Ada Kang Fikriyan yang tenang namun penuh daya juang, Kang R. Asep Sohibul Saefillah si pengamat peta politik NU dan PKB Cirebon, dan tentu saja, tak ketinggalan, Kang Siad Kaskay—jurus lidahnya masih tajam, arah pembicaraannya seperti sungai yang tampak tenang tapi berarus deras.

Tuan rumah, Mustopa, datang agak telat, membawa lima bungkus bubur sop ayam. Sebuah kejutan yang sederhana tapi hangat, seperti suasana malam itu. Bubur ayam yang mengepul disantap dengan tawa kecil, ditutup dengan kesegaran es orson yang menggoda. Dan setelah itu, dimulailah dunia persilatan lidah, seperti masa-masa ketika mereka masih aktif di Ansor Banser Kabupaten Cirebon: menjaga, mengawal, bahkan terkadang hanya duduk bersila di teras rumah Mustopa sambil memikirkan arah gerakan ke depan.

Obrolan ringan pun bergulir. Namun seperti biasa, dari obrolan ringan itulah seringkali muncul gagasan besar.

Kang Siad Kaskay membuka tema malam itu: “Bersembunyi di Tempat Terang.” Judul yang terdengar filosofis, tapi justru sangat membumi. Menurutnya, sebagai orang NU, tidak elok jika terlalu grasah-grusuh ingin memimpin. “Pemimpin itu bukan tentang ambisi, tapi kesiapan. Kapanpun para sepuh memanggil, kita harus siap,” kata Kang Siad, sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Candaan pun mengiringi, saat Mustopa menyela, “Kang Siad, bukan Kang Said, ya.”

Kang R Asep Sohibul Saefillah, si ‘raden’ pemikir, tak kalah tajam. Ia memetakan bagaimana hubungan NU dan PKB di Cirebon sudah sedemikian lekat—bahkan kadang terlalu lekat, hingga NU nyaris kehilangan otonominya sebagai gerakan. Tapi Kang Asep tidak melulu mengkritik; ia menyampaikan harapan, bahwa NU perlu mempertegas kembali garis juangnya, agar tak larut sebagai bayangan partai dan kental politiknya.

Berbeda dari keduanya, Kang Ahmad Fikriyan datang dengan energi yang khas: tenang, ulet, dan sangat terorganisir. Di tangannyalah banyak dokumentasi kegiatan NU dan Banser tersimpan rapi. Ia bukan hanya saksi sejarah, tapi juga penjaga memori gerakan. Sosok semacam ini langka: tak banyak bicara, tapi gerakannya mencerminkan konsistensi dan ketulusan.


Semangat menyala Ansor Banser dari orang-orang lugu angkatan 1985 hingga sekarang.


Reoni malam ini memang "tipis-tipis", tapi justru di situlah maknanya. Dari percakapan ringan seperti ini, muncul kesadaran bahwa menjadi bagian dari NU, dari Banser, adalah tentang kesetiaan dalam keheningan. Tentang perjuangan yang tidak selalu tampak. Tentang pilihan untuk tetap bersembunyi di tempat terang—karena dalam terang itulah, seseorang kadang harus belajar menahan diri, tidak tampil, namun tetap bekerja dan siap sedia ketika dipanggil.

Diskusi pun ditutup dengan video call hangat bersama sesepuh Banser dari Losari, KH. Muhari Joko Poleng. Suaranya bergetar tapi tegas, mengingatkan bahwa perjuangan belum usai, dan generasi kini harus melanjutkan estafet itu tanpa saling menyingkirkan, tanpa tergoda panggung yang gemerlap.

Malam ini, di rumah sederhana Mustopa, tidak ada panggung, tidak ada mikrofon, hanya teras rumah dan gelas plastik berisi es orson. Tapi dari tempat itulah, semangat itu kembali menyala. Reoni kecil ini hanyalah awal. Sebuah awalan menuju Reoni Besar Ansor Banser Tempo Doeloe. Dan mungkin, dari ruang-ruang kecil seperti ini, sejarah besar kembali digerakkan—dengan cara yang sunyi, tapi tak pernah sepi makna.

Wallohu a'lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar