Sejarah Islam pernah mencatat masa keemasan yang luar biasa. Pada abad ke-8 hingga ke-13 M, Baghdad—di bawah Dinasti Abbasiyah—menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, kedokteran, matematika, hingga astronomi. Kota ini dikenal dengan Bayt al-Hikmah (House of Wisdom), tempat para ilmuwan dari berbagai latar belakang mengembangkan ilmu secara lintas budaya dan bahasa.
Setelah Baghdad, peradaban Islam terus menyala, kali ini berpindah ke Mesir, dengan Universitas Al-Azhar sebagai pusat kajian Islam dunia yang berdiri sejak abad ke-10. Al-Azhar menjadi simbol keilmuan Islam yang kokoh, moderat, dan tahan zaman. Keduanya menjadi bukti bahwa peradaban Islam bisa tumbuh besar saat berpijak pada ilmu dan nilai-nilai kebajikan.
Namun sejarah tidak berhenti di sana.
Kini, dunia menatap ke Timur jauh, ke sebuah negeri maritim yang luas dan kaya budaya: Indonesia. Bukan tanpa alasan, harapan besar tentang kebangkitan peradaban Islam di masa depan tertuju pada Indonesia. Dalam sambutannya pada acara Launching STAI NU Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon (12 Juni 2025), Prof. Dr. Phill. Sahiron, M.A., Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama RI, mengutip pemikiran intelektual Muslim modern, Fazlur Rahman. Menurut Rahman, terdapat dua prasyarat utama untuk membangun sebuah peradaban Islam yang maju: tradisi kecintaan menuntut ilmu dan sikap moderat.
1. Kecintaan Menuntut Ilmu: Warisan yang Terus Tumbuh
Indonesia dikenal sebagai negeri yang mencintai ilmu. Dari masa ke masa, semangat belajar masyarakat Muslim Indonesia tidak pernah padam. Pesantren—lembaga pendidikan khas Nusantara—telah berabad-abad menjadi pusat pengembangan ilmu agama dan nilai-nilai kehidupan. Ulama-ulama seperti KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama; KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; hingga cendekiawan progresif seperti: KH. Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdullah Amin dll. telah membentuk wajah Islam Indonesia yang intelektual, humanis, dan terbuka.
Tradisi ini berlanjut dalam bentuk perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta, seperti UIN, IAIN, STAI, hingga universitas berbasis pesantren. Bahkan, Indonesia kini mulai aktif dalam percakapan global mengenai Islam wasathiyah (moderat), baik dalam bidang akademik, dakwah, maupun sosial kemasyarakatan. Kegemaran menuntut ilmu telah menjadi budaya, bukan hanya kewajiban.
2. Sikap Moderat: Warisan Para Wali yang Tetap Hidup
Peradaban besar hanya bisa berdiri di atas fondasi stabil: harmoni sosial. Indonesia memiliki modal besar dalam hal ini. Watak masyarakat Muslim Indonesia, yang diwarisi dari dakwah para Walisongo pada abad ke-15, adalah watak moderat, santun, dan akomodatif terhadap budaya lokal.
Para Walisongo menyebarkan Islam bukan dengan kekerasan, tapi dengan budaya, seni, dan pendidikan. Spirit inilah yang dihidupkan oleh organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU), yang kini memiliki basis massa sekitar 65% dari umat Islam Indonesia. NU menjadi simbol nyata dari Islam rahmatan lil alamin, yang tidak hanya menjaga tradisi keilmuan dan keagamaan, tetapi juga merawat kebhinekaan dan toleransi.
Sikap moderat ini adalah kekuatan moral dan kultural Indonesia. Di tengah meningkatnya ekstremisme global, Indonesia justru tampil sebagai model keberagamaan yang sejuk dan damai. Dunia kini mencari teladan baru, dan Indonesia punya peluang besar untuk menyediakannya.
3. Infrastruktur Sosial-Religius: Tanah Subur untuk Peradaban
Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki infrastruktur sosial dan religius yang luas. Ribuan pesantren, lembaga zakat dan wakaf, masjid, madrasah, dan kampus Islam telah tersebar merata dari kota hingga desa. Jika dikelola secara profesional dan visioner, jaringan ini bisa menjadi sistem pendukung bagi tumbuhnya peradaban Islam kontemporer.
Lebih dari itu, Indonesia telah masuk dalam percaturan intelektual global. Buku-buku karya cendekiawan Muslim Indonesia mulai diterjemahkan ke berbagai bahasa. Delegasi Indonesia di forum internasional tentang Islam kerap mendapat apresiasi karena membawa gagasan segar yang tidak ekstrem, tapi progresif dan solutif.
Indonesia, Cahaya Baru Peradaban Islam
Kita tak lagi sekadar mengenang keemasan Baghdad dan Al-Azhar sebagai lambang kejayaan peradaban Islam. Kini, kita mesti menyiapkan diri untuk menjadi bagian dari sejarah baru itu. Indonesia memiliki semua syarat untuk menjadi pusat peradaban Islam masa depan: ilmu pengetahuan, toleransi, kekuatan sosial, dan semangat kebersamaan.
Dr. Asyrofi, M.Pd atas nama panitia launcing membacakan SK No: 056/SK/K.YKP/VI/2025 Tentang: Pengangkatan Jabatan Struktural STAI NU Assalafie.
Adapun Susunan Struktural Pejabat STAI NU Assalafie sbb:
Ketua : Dr. H. Amin Maulana,MA
Wk.1 : Dr. Asyrofi, M.Pd.I
Wk.2 : M.Nurrarrouf,M.H
Wk.3 : H.Ibnu Muzaki,Lc,M.H
Kabiro Umum : Himawan, M.Pd.I
LP3M : Rohmatulloh, M.Pd.I
LPM : Shoimin,M.Hum
Kaprodi MPI : Sukron Ma'mun,M.Pd.I
Kaprodi Ekosy : H.Fauzan,LC,M.A
Struktur Yayasan Kebajikan Pesantren sbb:
Pembina : KH.Azka Hamam Syaerozi
Pengawas : KH.Yasyif Maemun Syaerozi
Ketua : Dr.KH.Arwani Syaerozi
Ketua STAI NU Assalafie yang baru saja dikukuhkan mengatakan: "Masih banyak tantangan yang harus dihadapi: kemiskinan, ketimpangan akses pendidikan, hingga globalisasi budaya yang kadang menggerus nilai-nilai luhur. Namun, jika seluruh elemen bangsa—ulama, intelektual, pemerintah, dan masyarakat—bersatu dalam visi yang sama, maka Indonesia akan mampu mengangkat Islam ke panggung tertinggi peradaban dunia."
"Mari kita tidak hanya menjadi pewaris kejayaan, tetapi juga pembangun masa depan. Karena suatu hari nanti, bukan tidak mungkin orakng-orang akan berkata: Dulu Baghdad dan Mesir, kini cahaya peradaban Islam datang dari Indonesia."
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar