Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berangkat menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, sebuah perjalanan spiritual yang merupakan rukun Islam kelima. Di antara rangkaian ritual yang dilakukan, salah satu yang tampak "sederhana" namun sarat makna adalah bermalam di Mina (mabit), yaitu menginap pada malam hari tasyrik di lembah Mina, tepatnya setelah wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah[1].
Bagi sebagian orang yang memandang ibadah haji hanya sebagai aktivitas fisik atau ritual simbolik, bermalam di Mina bisa jadi dianggap hal kecil atau bahkan tidak terlalu penting. Namun jika kita selami lebih dalam, mabit di Mina sejatinya adalah simbol nyata dari tunduk dan patuhnya seorang hamba kepada perintah Allah SWT, bahkan dalam bentuk yang tampak sederhana dan tidak selalu dipahami logikanya secara langsung[2].
Tunduk Tanpa Banyak Tanya
Ketika Allah SWT memerintahkan sesuatu, tidak selalu disertai penjelasan rasional atau argumen logis. Begitu pula dalam perintah mabit di Mina. Umat Islam diperintahkan untuk menetap di sana pada malam-malam hari tasyrik, tidur di bawah tenda atau bahkan di tanah beralas sajadah, dengan segala keterbatasan fasilitas yang tersedia[3]. Mengapa? Jawabannya bukan karena kenyamanan, bukan karena efisiensi, tapi karena ketaatan.
Di sinilah letak kekuatan maknawi dari mabit di Mina: ujian ketaatan dalam hal yang tampaknya sepele. Tidak ada ibadah yang sia-sia dalam Islam, bahkan jika hanya duduk di dalam tenda dan tidur pun dapat bernilai tinggi di sisi Allah jika dilakukan dengan niat taat[4].
Meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail
Bermalam di Mina tidak bisa dilepaskan dari rangkaian makna besar yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Kisah keduanya mengajarkan kepada kita tentang makna penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah. Ketika perintah menyembelih anak datang, Ibrahim tidak membantah. Ismail pun tidak menolak. Keduanya pasrah dengan yakin dan tenang[5].
Demikian pula para jamaah haji yang bermalam di Mina. Di balik tenda-tenda sederhana, tersimpan semangat Ibrahim: tunduk tanpa syarat, patuh tanpa ragu, dan yakin bahwa semua perintah Allah mengandung hikmah meski belum tampak saat ini[6].
Simbol Kesederhanaan dan Kesetaraan
Di Mina, tidak ada kamar hotel berbintang, tidak ada sofa empuk, tidak ada sekat sosial. Semua manusia berkumpul dalam tenda-tenda yang sama, mengenakan pakaian ihram yang seragam, tidur beralaskan tikar atau karpet tipis. Di sinilah letak keindahan mabit: ia mengikis perbedaan sosial, membumikan kesetaraan antar sesama muslim, dan menyatukan hati dalam satu frekuensi ibadah[7].
Tafakur dan Kesadaran Batin
Tak sedikit jamaah yang merasakan bahwa justru di Mina, mereka mendapatkan momen paling dalam dalam ibadah hajinya. Di sanalah mereka merasa menjadi manusia biasa, merasa kecil di hadapan kebesaran Allah, dan merasa sangat dekat dengan rahmat-Nya. Di tengah keheningan malam dan keterbatasan fasilitas, hadir keintiman spiritual yang sulit ditemukan dalam hiruk pikuk dunia modern[8].
Menjadikan Mina Sebagai Metafora Hidup
Bermalam di Mina adalah pelajaran hidup. Bahwa dalam hidup ini, kita tidak selalu harus mencari kenyamanan. Yang lebih penting adalah bagaimana kita tetap patuh pada prinsip, teguh pada keimanan, dan sabar dalam proses. Mina adalah gambaran kehidupan yang penuh kesederhanaan namun bermakna, kehidupan yang lebih menekankan nilai ruhani dibandingkan materi[9].
Penutup
Mabit di Mina bukan sekadar bermalam. Ia adalah pernyataan keimanan, simbol ketaatan, dan pengingat akan hakikat kehambaan. Dalam sunyi tenda-tenda Mina, seorang hamba sedang menyatakan, “Aku patuh, ya Allah, meski aku tidak selalu mengerti. Aku tunduk, ya Rabb, meski lelah dan terbatas.”
Wallahu a'lam
Catatan Kaki:
[1]: QS. Al-Baqarah (2): 203 – “Dan berdzikirlah kepada Allah dalam beberapa hari yang tertentu (hari-hari tasyrik)...”
[2]: Ibn Qudamah, Al-Mughni, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997, Jilid 3, hlm. 237.
[3]: Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1992, Jilid 8, hlm. 243–244.
[4]: HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 3146 – “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya...”
[5]: QS. Ash-Shaffat (37): 102 – “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
[6]: Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Kairo: Dar al-Shuruq, 2001, Jilid 6, tafsir QS. Ash-Shaffat.
[7]: Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sirah, Kairo: Dar al-Syuruq, 1995, hlm. 309.
[8]: Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Ibadat, Kairo: Dar al-Wafa’, 2003, hlm. 222.
[9]: Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Juz II, tafsir QS. Al-Baqarah: 203.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar