Gunung Kuda Cirebon Longsor: Musibah Berulang, Tanggung Jawab Siapa?

Gambar diambil dari screen shoot video Komunitas Orang Cirebon (Koci)


Peristiwa longsor yang terjadi di kawasan tambang Gunung Kuda, Desa Bobos, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, pada 30 Mei 2025 kembali membuka luka lama: eksploitasi alam yang tidak diimbangi dengan pengawasan dan mitigasi risiko. Puluhan kendaraan dan pekerja proyek dilaporkan tertimbun material longsoran. Dugaan sementara, lebih dari 20 orang menjadi korban.

Rekaman video amatir yang dibagikan Komunitas Orang Cirebon (Koci) menunjukkan suasana mencekam di lokasi kejadian. Tampak truk-truk pengangkut material batu tertahan, sebagian tertutup tanah dan batu besar. Kengerian ini bukan kali pertama terjadi di Gunung Kuda. Masyarakat sekitar sudah sejak lama menyebut kawasan tersebut sebagai lokasi rawan longsor.

Rijal Kang Guru Tegalgubug, salah seorang mantan pekerja tambang yang pada 2015 menjadi staf admin di lokasi tersebut, membagikan pengalamannya melalui media sosial. Ia menyebut bahwa longsor sudah menjadi fenomena yang umum—kadang terjadi secara alami akibat curah hujan dan kemiringan lereng, kadang pula disengaja menggunakan alat berat demi mempercepat penggalian material. "Kalau tidak ada korban, disebut berkah. Tapi kalau menelan korban, itu musibah," tulisnya lirih.

Namun, benarkah kita pantas menyebut longsor yang merenggut nyawa manusia sebagai "musibah" semata, tanpa melihat ada kemungkinan kelalaian manusia yang menyertainya? Apakah kita akan terus membiarkan alam menjadi tumbal dari kepentingan ekonomi sesaat?

Antara Ekonomi dan Etika Eksplorasi

Tambang Gunung Kuda bukanlah satu-satunya kawasan eksplorasi material batuan di wilayah Cirebon. Namun intensitas aktivitasnya yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Di satu sisi, tambang memberikan kontribusi ekonomi: membuka lapangan kerja, menghidupi ratusan keluarga, serta menopang industri bahan baku seperti semen. Namun di sisi lain, kegiatan eksploitasi yang tidak dikendalikan secara ketat mengancam keselamatan manusia dan kerusakan lingkungan jangka panjang.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari pihak pemerintah mengenai status legalitas seluruh kegiatan pertambangan di Gunung Kuda. Apakah semuanya memiliki izin lengkap? Bagaimana proses AMDAL dilakukan? Sejauh mana pengawasan dilakukan terhadap SOP keselamatan kerja?

Ketiadaan informasi publik yang transparan menimbulkan dugaan bahwa regulasi yang seharusnya menjadi instrumen kontrol justru melemah dalam praktiknya. Apalagi, ketika fenomena longsor dianggap hal biasa, bahkan menjadi bagian dari “strategi” produksi, maka jelas ada persoalan struktural yang harus segera ditangani.

Negara Tidak Boleh Abai

Tragedi Gunung Kuda seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah daerah dan pusat untuk mengevaluasi ulang seluruh kegiatan pertambangan, tidak hanya di Cirebon, tetapi di banyak wilayah lain yang mengalami persoalan serupa. Sudah terlalu banyak kejadian serupa yang menimbulkan korban jiwa, namun minim tindakan korektif.

Pemerintah Kabupaten Cirebon harus segera mengambil sikap. Audit menyeluruh terhadap aktivitas tambang di kawasan Gunung Kuda menjadi langkah minimal yang harus dilakukan. Aktivitas yang tidak memenuhi syarat keselamatan dan kelayakan lingkungan harus dihentikan. Tak kalah penting adalah memperkuat edukasi keselamatan kerja bagi para pekerja tambang dan memastikan mereka memiliki perlindungan sosial yang layak.

Kita tidak bisa terus menyebut setiap bencana akibat ulah manusia sebagai takdir. Di balik tanah yang longsor, ada sistem pengawasan yang runtuh, ada kebijakan yang abai, dan ada nyawa-nyawa yang tak semestinya hilang sia-sia.

Penutup: Menata Ulang Relasi dengan Alam

Gunung Kuda bukan sekadar tumpukan batu bernilai ekonomis. Ia adalah bagian dari alam yang memiliki hak untuk tetap lestari. Eksplorasi harus dilakukan dengan pendekatan etis, ilmiah, dan manusiawi. Kita tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan tanpa perlindungan terhadap manusia dan lingkungan adalah bentuk kezaliman.

Tragedi ini bukan sekadar berita duka. Ia adalah sinyal keras bahwa sudah waktunya kita menata ulang cara kita memperlakukan alam. Sebab jika tidak, maka bencana berikutnya hanya soal waktu.

Penulis adalah koresponden Al-Biruni 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar