Nasib Haji Furoda (Ketika Tiket Langit Gagal Terbit


Di negeri ini, haji bukan sekadar rukun Islam kelima. Ia adalah puncak karier spiritual, lambang kesuksesan sosial, bahkan terkadang, simbol pencapaian duniawi. Di banyak tempat, orang baru dianggap "paripurna" setelah pulang dari Tanah Suci. Panggilan "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" kerap menjadi gelar kehormatan yang melekat seumur hidup, kadang lebih kuat dari gelar akademik.

Namun ironisnya, dalam dunia yang semakin kapitalistik, bahkan ibadah pun mulai "disulap" jadi komersil-komoditas. Maka hadirlah apa yang disebut Haji Furoda—jalur undangan langsung dari pemerintah Arab Saudi di luar kuota reguler dan haji plus. Jalur ini dianggap paling prestisius, tercepat, dan tentu saja, paling mahal.

Tak perlu antre puluhan tahun. Tak perlu menunggu kuota. Tak perlu ikut sistem lotere negara. Cukup siapkan tabungan nyaris satu miliar, dan semua kelihatan beres. Hotel dekat Masjidil Haram, makanan mewah, transportasi eksklusif, manasik dengan coffee break, dan janji manis: langsung berangkat tahun ini, insya Allah.

Tapi ternyata, insya Allah bukan semata-mata manajemen. Ia adalah ruang yang di dalamnya ada hak veto Tuhan. Dan tahun ini, veto itu digunakan.

Harga Tiket Surga

Bayangkan, Rp 975 juta—uang sebanyak itu bisa membeli satu rumah di pinggiran Jakarta, satu unit Alphard terbaru, atau membiayai kuliah anak hingga selesai S2 di luar negeri. Tapi tahun ini, angka itu hanya jadi tiket impian yang tidak pernah ditebus. Koper sudah dipacking, baju ihram sudah disetrika, tasbih sudah dibeli dari toko oleh-oleh Islami. Tapi apa daya, visa tak kunjung turun.

Arab Saudi secara mendadak menutup jalur visa mujamalah (furoda). Tanpa klarifikasi. Tanpa penjelasan resmi. Seperti kekasih ghosting setelah diajak makan malam bareng orang tua. Lengkap dengan tiket pulang yang tak bisa dipakai.

Menurut data Kemenag, dari 203.320 kuota haji reguler, hanya 203.279 visa yang terbit. Artinya, ada yang sudah masuk daftar tunggu, sudah berdoa setiap malam, bahkan sudah pamitan ke tetangga… tapi tetap gagal berangkat. Lebih pahit lagi, di jalur furoda, banyak dari mereka sudah bayar lunas, ada yang bahkan sampai meminjam ke bank syariah, hanya untuk akhirnya mendapat surat batal.

Lalu siapa yang harus disalahkan?

Tuhan Tidak Bisa Disuap

Banyak yang spontan menyalahkan travel. Ada yang menggugat penyelenggara. Bahkan ada pula yang marah ke pemerintah. Tapi mungkin, sebelum menunjuk ke luar, kita perlu mempertanyakan pada diri sendiri.

Bukankah kita sendiri yang menganggap ibadah haji bisa dipercepat asal punya uang? Bukankah kita yang percaya bahwa semua bisa "diakali"? Bukankah kita yang membiarkan diri terbuai oleh narasi bahwa “haji eksklusif” lebih mulia daripada antre bersama rakyat jelata?

Padahal sejak awal, haji bukan kompetisi siapa cepat dia dapat. Haji adalah panggilan. Allah memilih siapa yang Dia kehendaki, dengan cara-Nya, waktu-Nya, dan izin-Nya. Kadang, panggilan itu datang pada seorang pedagang kecil yang 20 tahun jualan gorengan, bukan kepada pemilik showroom mobil mewah.

Maka gagalnya visa furoda tahun ini adalah teguran yang amat jelas: bahwa langit tak bisa dibuka dengan uang. Bahwa Ka’bah tidak bisa dibooking seperti hotel. Bahwa surga tidak bisa disponsori oleh brand luxury apa pun.

Dari Tenda Mina ke Tenda Kehidupan

Sungguh ironis, ketika banyak jemaah furoda gagal berangkat, di kampung-kampung terpencil justru ada orang-orang sederhana yang berhasil tiba di Tanah Suci. Seorang petani yang sabar menabung bertahun-tahun, seorang nenek yang hidup dari hasil menjahit, seorang guru ngaji yang setiap malam berdoa dengan linangan air mata—merekalah yang ternyata benar-benar “diundang.”

Dan lihatlah perbedaan mereka. Jemaah furoda menenteng koper mahal tapi pulang dengan rasa kecewa, sementara jemaah reguler berangkat dengan sandal jepit dan doa ibu, pulang membawa senyum dan kenangan spiritual tak tergantikan.

Inilah haji. Ia adalah pelajaran. Bahwa Allah tidak menilai apa yang kau bawa, tapi apa yang kau niatkan. Tidak menilai berapa yang kau bayarkan, tapi seberapa ikhlas engkau berserah.

Kesimpulan: Haji Tak Bisa Dicicil

Haji furoda yang gagal bukan semata cerita tentang visa yang tak jadi. Ia adalah refleksi tentang bagaimana kita melihat ibadah. Apakah ia sekadar proyek ambisi, atau benar-benar perjalanan ruhani?

Tahun ini, jalur furoda tak bisa digunakan. Mungkin tahun depan, jalur itu dibuka kembali. Tapi semoga, kita semua belajar satu hal penting: bahwa tidak ada shortcut ke surga. Jalan menuju Allah tidak punya jalur khusus untuk yang punya uang lebih banyak. Ia hanya bisa dilalui oleh mereka yang hatinya paling siap, paling tulus, dan paling sabar menunggu panggilan.

Karena itu, saudara-saudaraku, visa langit tidak bisa dicetak dari mesin ATM.

Wallohu a'lam 

1 komentar:

  1. Luar biasa pembahasannya. Terima kasih atas pencerahannya. Jazakallah khair.

    BalasHapus