ketakketikmustopa.com, Di tengah riuh zaman yang sering memicu polarisasi dan prasangka, sosok-sosok penyambung harmoni menjadi cahaya yang menenangkan. Di Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, hadir sosok Arijalusshobirin, S.H., atau yang akrab disapa Kang Rijal—seorang Penyuluh Agama Islam yang tak hanya menjalankan tugas seremonial keagamaan, tetapi juga menggeliat sebagai motor penggerak moderasi beragama yang hidup dan nyata.
Dengan landasan cinta tanah air dan semangat keberagaman, Kang Rijal menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya potensi disintegrasi sosial. Melalui PERAGA—komunitas Penggerak Keberagaman Arjawinangun—ia menggagas ruang perjumpaan antariman, antarbudaya, dan antarwarna pikiran. Di komunitas ini, tokoh agama, pemuda lintas iman, hingga masyarakat umum bersatu dalam dialog dan aksi, menyulam tenun kebangsaan yang semakin kuat.
“Moderasi beragama adalah jalan tengah yang harus terus kita hidupkan,” ujar Kang Rijal. “Kami ingin masyarakat tidak terjebak dalam ekstremisme, baik yang terlalu ketat maupun yang terlalu longgar.”
Pernyataan tersebut bukan sekadar slogan. Dalam praktiknya, Kang Rijal turun langsung ke akar rumput: menghadiri forum keagamaan lintas iman, memfasilitasi bakti sosial bersama, hingga menjadi mediator dalam konflik berbasis agama yang mengintai masyarakat akar rumput. Di tengah tantangan seperti hoaks yang mengadu domba, ujaran kebencian di media sosial, dan sempitnya literasi keagamaan, Kang Rijal hadir sebagai peneduh—mengedepankan pendekatan humanis, persuasif, dan musyawarah.
Tidak hanya menyampaikan dakwah di masjid atau majelis taklim, Kang Rijal menjadikan seluruh ruang sosial sebagai ladang dakwah perdamaian. Ia menunjukkan bahwa tugas penyuluh agama tidak selesai pada khutbah dan ceramah, melainkan pada keteladanan dan kepeloporan dalam membangun harmoni.
“Kerukunan itu bukan sekadar teori. Ia harus diwujudkan lewat aksi, kolaborasi, dan keterlibatan nyata. Melalui PERAGA, kami ingin membuktikan bahwa perbedaan bukan ancaman, tapi kekayaan,” imbuhnya.
Keuletan dan konsistensinya menjadikan nama Kang Rijal harum di tengah masyarakat Arjawinangun. Ia dianggap bukan hanya penyuluh agama, tapi penyuluh kehidupan. Sosok yang mampu menembus sekat-sekat identitas dan memeluk semua dengan semangat kebersamaan.
Tentu perjuangannya belum selesai. Ancaman radikalisme, intoleransi, dan eksklusivisme masih terus mengintai. Namun Kang Rijal percaya, selama masih ada ruang dialog, harapan selalu hidup. Selama masih ada penyuluh yang tidak hanya bicara, tetapi juga bergerak, maka Indonesia yang rukun dan damai bukan sekadar cita-cita, tapi keniscayaan.
Semoga langkah Kang Rijal menjadi teladan, bahwa menjaga Indonesia bukan hanya tugas negara, tapi panggilan nurani setiap warga. Dan bagi para penyuluh agama di seluruh pelosok negeri, kisah ini adalah cermin bahwa tugas mereka jauh lebih besar daripada sekadar membacakan naskah ceramah—tugas mereka adalah membangun jembatan di atas sungai perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar