Sepenggal Kisah dari Bilik Pesantren


Sepenggal Kisah dari Bilik Pesantren
ISBN 978-623-373-153-9
Penerbit Dandelion  Desember 2021

Di buku ini saya menulis tema Belajar Kesederhanaan Dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon ada di halaman 23


Belajar Kesederhanaan 

Dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

-Mustopa- 


Kalau teringat masa dulu tahun 1989-an saat itu awal pertama kali saya mondok di Pondok Pesantren Roudlotuth Tholibin Babakan Ciwaringin Cirebon. Alasan mengapa saya dipesantrenkan di sana karena mungkin kedua orang tua saya menginginkan agar saya kelak menjadi orang yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. Alasan lainnya karena dalam dunia Pesantren bukan hanya ilmu dunia yang dipelajari namun ilmu akhirat  pun menjadi agenda yang wajib dipelajari.

Bagi orang tua yang memilih pendidikan pesantren bukan hal yang mahal karena harus terpisah dengan anaknya bukan tanpa alasan, yang paling sering kita dengar dari para orang tua ialah ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang soleh dan faham ilmu agama untuk bekal di akhirat kelak. Alasan lainnya adalah untuk menjauhkan putera-puterinya dari pergaulan di masyarakat yang sudah kelewatan bebas seiring dengan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebelum saya mondok pada saat itu sudah tradisi kalau anak laki-laki sudah terbiasa tidur dan ngaji di mushola, bisa menjadi olok-olokan kalau ada anak laki-laki tidur di rumah bersama orang tuanya. Dari pagi sampai siang kegiatan di sekolah formal seperti SD, SMP. Dan setelah dzuhur sekolah di madrasah diniyah sampai jelang ashar. Jelang sholat maghrib anak-anak sudah kumpul persiapan sholat maghrib diteruskan mengaji al-Qur’an pada seorang ustadz bakda maghrib, setelah sholat ‘Isya diteruskan mengaji kitab fiqih Kitab Safinatun Najah dan mengaji Kitab Gramatikal Arab Kitab Al-Ajurumiyah.

Sejak kelas IV SD sampai lulus SMP/MTs  sekalipun Cuma ngaji di kampung di mushola bersama ustadz sudah bisa mengkhatamkan bahkan menghafalkan beberapa kitab, diantaranya: Kitab Safinatun Najah, Al-Ajurumiyah, Fathul Qorib, Al-Imrity , ‘Awamil dan Kitab Al-Fiyah Ibnu Malik.

Kenangan yang paling indah pada saat itu tahun 1984 belum ada listrik masuk desa. Kalau mengaji biasanya pakai lampu pelita dengan sumbu dan  bahan bakar minyak tanah dan hiburan yang paling asyik adalah main petak umpet atau nonton TVRI “Dunia Dalam Berita” atau “Aneka Ria Safari”. Di salah satu orang yang paling kaya di kampungku dengan menggunakan strum aki, bisa dibayangkan kalau akinya lowbet ga bisa nonton TV dan langsung tidur bersama-sama di mushola.

Saya lulus MTs Yami Waled Cirebon tahun 1988 dan pilihan meneruskan pendidikan mengikuti anjuran orang tua ke Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dn orang tua lulusan dari sini. Desa Babakan adalah nama sebuah perkampungan yang terdiri banyak pesantren. Pada saat awal mondok tahun itu kurang lebih 10 pesantren dan sekarang sudah mencapai kurang lebih 60-an pondok pesantren. Secara administratif desa Babakan berada di wilayah Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon Provinsi JawaBarat.

Para kyai di sini di Pesantren Babakan sudah mendapat restu dari para kyai tempat mereka belajar untuk mendirikan pesantren. Dari pesantren satu dengan pesantren lainnya masih ada kaitan keluarga. Walaupun mereka memiliki kajian bidang ilmu yang berbeda-beda seperti dalam hal ilmu fiqh, ilmu nahwu shorof, ilmu hadits, ilmu Al-Qur’an dan lain-lain mereka bersatu dalam perbedaan.

Bisa kita lihat dari banyaknya bermunculan pesantren-pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan baru, sekolah-sekolah baru. Di pesantren Babakan sekalipun sudah bermunculan sekolah-sekolah formal dan menjamurnya perguruan tinggi, tetap saja pola dan sistem pengajaran di pesantren Babakan masih menggunakan sistem tradisional.

Oleh orang tua saya dimasukkan ke pesantren yang ada di Babakan, pesantren itu bernama Pesantren Roudlotuth Rholibin yaitu salah satu pesantren tertua yang ada di Desa Babakan pada tahun 1998. Pada saat itu Pesantren Roudlotuth Tholibin di bawah asuhan KH. Fuad Amin.

Uniknya mondok di Babakan meski mondok di satu pesantren diberikan kebebasan untuk mengaji  dan ngalap berkah mengaji kepada kyai pesantren mana saja yang ada di Desa Babakan, dengan begitu seorang santeri bisa bersentuhan dan berhubungan dengan kyai siapa saja. Seperti yang saya alami sekalipun mondok di Pesantren Roudlotuth Tholibin bisa mengaji Al-Qur’an di Kyai Ghufron, bisa ngaji kitab kuning lainnya di pesantren atau kyai lain.


Belajar Kesederhanaan

Santeri mondok seperti saya pada saat itu jangan disamakan dengan santeri pada saat sekarang ini. Saat sekarang ini santeri sudah dilayani dengan fasilitas yang mencukupi dan memadai, banyak cerita yang sangat menyenangkan dan kenangan yang sulit untuk dilupakan, anggap saja sekarang mencuci sudah ada loundry, makan sudah ada kost makan, mandi tidak susah air sangat tercukupi, komunikasi sangat mudah, sekolah formal di sekeliling pondok hingga perguruan tinggi ada. Dulu mondok dalam kondisi sangat kekurangan.

Berbeda dengan saya mondok pada saat itu, kalau mau berangkat mondok bawa beras 12 kg dan uang Rp 12.000,- untuk memenuhi kebutuhan makan selama sebulan itupun sudah termasuk bayar syahriyah pondok SPP sekolah dan bayar lainnya. Kalau mau makan maka ada jadwal piket masak yang telah ditentukan di masing-masing kamar dengan peralatan kompor minyak tanah seadanya. Kalau sudah matang nasinya dilanjut masak sayuran ada sambal, oseng kangkung, oreg, tumis kacang panjang dan jarang sekali makan enak seperti telur atau daging.

Soal mandi pun kadang jadi pelajaran yang sangat berharga, karena jumlah santeri kurang lebih seribu santeri dan kemampuan bak mandi untuk mencukupi santeri tidak memadai. Hampir sebagian santeri Roudlotuth Tholibin bahkan santeri lain yang ada di Babakan mandinya di kali Ciwaringin.

Kamar kami tempat mondok berukuran 3 X 5 diisi kurang lebih 14 santeri yang kebetulan satu kamar kami semuanya dari kampung halaman waktu kami ngaji di mushola kamung sebuah desa kami berasal. Sungguh sulit untuk dipikir bagaimana istirahatnya, bagaimana tidurnya? Bekal pengalaman ngaji di kampung segala kesusahan dan penderitaan di pondok sangat mudah diselesaikan bersama. Makan sekalipun masak sendiri terasa nikmat, mandi sekalipun harus ke kali terasa asyik, tidur sekalipun kamarnya sempit bisa tidur di masjid atau tidur di ruang-ruang terbuka halaman kamar.

Kesederhanaan para santeri tidak lepas dari pengajaran dan prilaku para kyai pada saat itu. Pada saat itu hampir semua kyai berkehidupan yang sangat sederahana, makan sederhana, rumah sangat sederhana dan hampir semua kyai di Babakan pada saat itu tidak memiliki kendaraan roda empat. Tidak heran ilmunya kyai pada saat itu sangat luas dan dalam dan ikhlas dalam menyampaikan ilmunya.

Gambaran guru atau kyai pada saat itu tidak lepas dari gambaran kesederhanaan yang tidak bisa dilepaskan dari kearifan lokal atau nilai-nilai tradisi dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat pada saat itu seperti bertani menanam padi, rendah hati dalam pergaulan sehari-hari. Tidak heran kalau kyai pada saat itu berprilaku rendah hati dengan menundukan kepala atau tidak sombong seperti padi yang berisim karena padi semakin berisi semakin menunduk. Filosofi padi merupakan nilai yang adiluhung dimana karakter kuat sebuah masyarakat terbentuk dari kearifan lokal dan juga tidak lepas dari tauladan Nabi Besar Muhammad SAW.

Sejarah mencatat keberhasilan dakwah Nabi SAW hingga keberhasilan dakwah wali sanga di Nusantara karena mereka berdakwah dengan tidak memusuhi tetapi merangkul, berdakwah atau mengajar dengan membawa cinta, tidak angkuh dan sombong tetapi selalu rendah hati dan terakhir selalu mengajarkan kesederhanaan.

Seiring perjalanan waktu dan tuntutan zamanyang kian kompleks, pesatnya keilmuan yang semakin spesifik terus menuntut pesantren agar tetap menjadi lembaga pendidikan yang selalu survive abadi, bisa membuka pendidikan formal mulai dari SD/MI, SMP/MTs, MA/SMA/SMK, bahkan perguruan tinggi. Sungguh ini merupakan pencapaian yang sangat luar biasa. Sampai-sampai sekarang ada jargon gerakan “Ayo Mondok” yang dipelopori oleh Rabithah Ma’had Al-Islamy RMI PB NU membawa sinyal bahwa pesantren bukan lembaga pendidikan alternatif. Akan tetapi pesantren dengan segala bentuknya merupakan lembaga unggulan.

Terakhir yangingin saya sampaikan, kenapa sekarang banyak orang ingin memondokan anaknya di pesantren?. Pertama, karena di pesantren memiliki sanad keilmuan yang jelas. Kedua, pesantren mengajarkan kita untuk oposisi binner, sebuah gaya berfikir yang selalu mempertentangkan setiap perbedaan. Ketiga, dipesantren dikenalkan konsep barokah, setinggi apapun ilmunya jika tidak mendapatkan barokah dari kyainya tidak akan manfaat ilmunya. Keempat, di pesantren diajarkan bersosial, tolong menolong, berjamaah, membantu sesama. Kelima, di pesantren diajarkan kesederhanaan dalam hal apapun sekalipun di era sekarang sekala sarana dan pra sarana tercukupi. Keenam, di pesantren diajarkan tentang akhlak, adab, etika dan sopan santun. Orang yang memiliki akhlak yang luhur bisa dipastikan orang tersebut memiliki tingkat paling tinggi dibanding dengan orang yang memiliki ilmu tinggi.

Demikian catatan singkat pengalaman saya dalam menuntut ilmu di pesantren. Betapa pondok pesantren telah mengajarkan kami keluasan ilmu dan keluhuran akhlak. “Ayo Mondok”.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar