Bagi banyak insan akademik, menyandang gelar Profesor atau Guru Besar adalah impian puncak dalam perjalanan karier intelektual. Gelar ini bukan sekadar kebanggaan pribadi, melainkan simbol dari ketekunan, dedikasi, dan kontribusi nyata dalam ranah keilmuan. Tidak mengherankan jika dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia, seorang rektor dan wakil rektor bahkan disyaratkan telah menyandang gelar ini.
Namun siapa sangka, dalam pengalaman penulis, momen yang mengubah hidup itu datang secara mengejutkan. Pada tanggal 15 November 2024, penulis mendapati status Jabatan Fungsional saya tertulis sebagai “Profesor,” lengkap dengan angka kredit 850. Yang lebih mengejutkan: jabatan itu telah berlaku sejak 1 Januari 2024—hampir setahun sebelumnya.
Padahal, saya belum pernah secara formal mengajukan diri untuk menjadi Guru Besar. Bahkan secara administratif, saya masih bergelar S2. Maka muncul pertanyaan besar: bagaimana mungkin jabfung Profesor bisa muncul begitu saja?
Jawabannya ada dalam rekam jejak panjang aktivitas akademik yang penulis jalani, yang diam-diam tercatat, terdokumentasi, dan terakumulasi.
Buku-Buku dan Bukti Cinta pada Ilmu
Sejak awal saya berkiprah di STID Al-Biruni Babakan Ciwaringin, menulis adalah napas dalam aktivitas saya. Hingga hari ini, saya telah:
1. Menulis lebih dari 90 Chapter Book ber-ISBN
2. Menyusun 3 buku bahan ajar untuk mata kuliah
3. Menulis 7 buku ber-HKI
4. Menyusun 2 buku profil desa
4. Menerbitkan 3 buku puisi
5. Menulis 9 artikel jurnal ilmiah
6. Menulis buku biografi Bupati Cirebon
7. Menulis 7 buku novel islami
8. Aktif dalam penulisan profil desa dan dokumentasi akademik lainnya
Menulis bukan hanya kewajiban, tapi panggilan jiwa. Ia adalah wujud cinta pada ilmu, bangsa, dan generasi mendatang.
Penghargaan dan Kiprah Global
Dedikasi tersebut tidak berlalu begitu saja. Saya pernah mendapat:
1. Mendapatkan penghargaan Albiruni Award 2022 sebagai “Dosen Penulis Buku Terbanyak”
2. Mendapatkan Penghargaan atas Apresiasi untuk partisipasi dalam 3 jam baca puisi, membacakan buku karya sendiri: "Antologi Puisi Cinta untuk Baginda Nabi Muhammad SAW" tahun 2023.
3. Kesempatan mengikuti short course di Tiongkok tahun 2009
Dan masih banyak aktivitas lain yang tercatat dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) sebagai bentuk nyata dari Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Profesor: Bukan Sekadar Gelar, Tapi Amanah
Masih banyak yang mengira gelar profesor adalah gelar kehormatan. Padahal, ia adalah jabatan fungsional akademik tertinggi yang diperoleh dari akumulasi kerja ilmiah yang terukur dan terdokumentasi. Setiap aktivitas dosen memiliki bobot angka kredit (KUM), seperti:
Mengajar 2 SKS = 2 KUM
Menulis 1 buku ISBN = 20 KUM
Memberi khutbah Jumat rutin selama 1 tahun = 1 KUM
Dengan semangat kontribusi, seorang dosen bisa mengumpulkan puluhan hingga ratusan KUM per tahun. Hingga akhirnya:
Asisten Ahli: 150 KUM
Lektor: 200–300 KUM
Lektor Kepala: 400–850 KUM
Guru Besar / Profesor: 850–1.000 KUM
Saat saya menelusuri data PDDIKTI, ternyata akumulasi KUM saya telah mencapai angka 850. Inilah pintu menuju jabfung Profesor yang terbuka—tanpa saya mengajukannya lebih dulu.
Lebih dari SK: Peran Intelektual dan Sosial
Profesor bukan hanya soal SK atau tunjangan. Ini adalah tanggung jawab besar. Ia harus menjadi:
1. Pengajar yang mencerahkan
2. Peneliti yang menggugah
3. Pengabdi masyarakat yang menginspirasi
Setiap tulisan, khutbah, pelatihan masyarakat, hingga kontribusi di forum ilmiah adalah bentuk ibadah intelektual. Tidak jarang, rezeki dosen datang bukan dari gaji, tetapi dari keberkahan ilmunya. Seperti kata seorang kiai: “Kalau jadi dosen, rezekinya sering tidak terduga. Ilmu yang dibagi dengan ikhlas akan kembali dalam bentuk penghormatan dan keberkahan.”
Membangun Masa Depan Akademik Lewat Jabfung
Mengapa jabfung penting?
Karena ia tidak hanya menentukan nasib pribadi dosen, tapi juga masa depan institusi. Misalnya:
Untuk menjadi institut, sebuah kampus harus memiliki minimal 2 dosen Lektor Kepala atau Doktor
Untuk membuka program S2, kampus wajib memiliki minimal 1 Profesor dan 2 Doktor
Maka, dukungan institusi terhadap peningkatan jabatan fungsional dosen adalah investasi strategis. Administrasi harus dipermudah, pelatihan diperbanyak, dan budaya akademik diperkuat.
Penutup: Mari Menapaki Tangga Ilmu dengan Gairah dan Iman
Profesor bukanlah puncak keangkuhan, tapi titik kulminasi dari pelayanan ilmiah. Ia adalah amanah besar yang hanya bisa dipikul oleh mereka yang bersedia melayani ilmu dan masyarakat dengan sepenuh hati.
Mari kita:
1. Mengajar dengan dedikasi
2. Meneliti untuk solusi
3. Mengabdi dengan ketulusan
4. Mendokumentasikan semua kontribusi kita
Jabatan fungsional bukan tujuan akhir, tetapi jalan panjang yang mulia. Maka, mari kita tempuh jalan itu dengan tekad yang lurus, niat yang benar, dan semangat yang menyala—demi Indonesia yang lebih cerdas, mandiri, dan bermartabat.
Wallohu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar