Dalam kalender Islam, setelah puncak ibadah Idul Adha yang jatuh pada 10 Dzulhijjah, umat Islam disambut oleh tiga hari istimewa yang dikenal sebagai Ayyamu at-Tasyrik—Hari Tasyrik. Tepatnya pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Ketiga hari ini memiliki status yang agung dalam syariat Islam. Tidak hanya karena posisinya sebagai bagian dari waktu penyembelihan hewan qurban, tetapi juga karena adanya anjuran untuk memperbanyak dzikir dan larangan khusus terhadap puasa di hari-hari ini.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
"Hari-hari Tasyrik adalah hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah."
(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
Hadis ini singkat namun padat makna. Ia menyimpan pesan fikih yang eksplisit dan hikmah psikologis yang implisit. Tulisan ini mencoba menjelajahi dua dimensi itu—fikih dan psikologi—agar kita dapat memaknai Hari Tasyrik bukan hanya sebagai sisa dari perayaan Idul Adha, melainkan sebagai momen istimewa yang patut dihayati secara spiritual, sosial, dan emosional.
Dari Perspektif Fikih: Mengapa Dilarang Puasa?
Dalam kajian fikih, Hari Tasyrik secara tegas termasuk dalam hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa, sebagaimana dikuatkan oleh para ulama dari berbagai mazhab. Dalam kitab Al-Majmu’ karya Imam Nawawi, disebutkan bahwa puasa pada Hari Tasyrik adalah haram, kecuali bagi jamaah haji yang tidak mampu berkurban, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 196.
Keistimewaan Hari Tasyrik juga tampak dari fakta bahwa ia termasuk dalam hari-hari takbir (takbir muqayyad) yang dianjurkan untuk dilafalkan setiap selesai salat wajib sejak subuh 9 Dzulhijjah (hari Arafah) hingga asar 13 Dzulhijjah. Artinya, Islam memberikan tempat khusus bagi dzikir dan syiar keimanan di hari-hari ini.
Anjuran untuk makan dan minum secara lahiriah tidak berdiri sendiri. Ia dibingkai oleh kalimat "wa dzikrillah"—dan mengingat Allah. Inilah yang menjadikan aktivitas fisik seperti makan dan minum berubah dari sekadar rutinitas menjadi ibadah jika diiringi dengan kesadaran spiritual.
Dari Perspektif Psikologi: Memulihkan Jiwa dan Merawat Emosi
Sisi lain yang tak kalah penting untuk dieksplorasi adalah makna psikologis dari Hari Tasyrik. Dalam banyak literatur psikologi Islam, manusia dikenal sebagai makhluk jasmani dan ruhani. Ia membutuhkan makanan untuk tubuh, dan kedamaian untuk jiwa. Setelah melewati tekanan ibadah Idul Adha—yang melibatkan pengorbanan, kedisiplinan, dan spiritualitas tinggi—manusia membutuhkan masa transisi untuk menyeimbangkan emosi.
Hari Tasyrik, dalam kacamata psikologi Islam, berfungsi sebagai fase pemulihan emosional (emotional recovery). Ia memberi ruang bagi manusia untuk menikmati karunia Allah secara lahiriah (makan dan minum), sambil tetap menjaga hubungan ruhiyah melalui dzikir dan syukur. Ini adalah bentuk dari self-care islami yang sangat terstruktur.
Dalam pandangan tokoh psikologi Islam kontemporer seperti Prof. Malik Badri, kegiatan spiritual yang sehat harus diiringi dengan penerimaan terhadap kenikmatan duniawi yang halal dan proporsional. Islam tidak menolak kesenangan, tetapi mengarahkannya agar tidak menjadi sia-sia. Maka makan bersama keluarga, menyantap daging qurban, bersilaturahmi, dan bercanda dalam batas wajar adalah bagian dari perawatan jiwa dalam Islam.
Makan dan Minum Sebagai Ibadah
Seringkali kita memisahkan antara aktivitas lahiriah dan ibadah. Padahal dalam Islam, tidak ada dikotomi antara keduanya. Hari Tasyrik menunjukkan bahwa makan dan minum pun bisa menjadi ibadah jika dibarengi dengan niat yang benar dan rasa syukur. Bahkan, tidak makan di Hari Tasyrik justru berpotensi berdosa, karena itu menyalahi anjuran Nabi.
Dalam budaya modern, kita sering memaknai makan sebagai bentuk pelarian dari stres atau kecemasan. Tetapi Hari Tasyrik memberi arah baru: makan bukan untuk pelarian, tetapi untuk perayaan iman. Bukan makan yang melenakan, tapi makan yang menyadarkan.
Hari Tasyrik di Tengah Konsumerisme Modern
Di era sekarang, di mana pesta makan bisa menjadi simbol status sosial, Hari Tasyrik datang membawa pesan kritik halus: makan dan minum bukan untuk menunjukkan kekayaan, tetapi untuk menunjukkan syukur. Hari Tasyrik adalah momentum untuk makan bersama fakir miskin, menyantuni yatim, dan merayakan keberkahan secara kolektif, bukan individualistik.
Di sinilah pentingnya menjaga semangat berbagi dalam Hari Tasyrik. Daging qurban dibagikan kepada yang membutuhkan, makanan dimakan bersama, dan suasana sosial menjadi sarana dakwah yang lembut. Dalam konteks ini, Hari Tasyrik menjadi antitesis dari budaya konsumerisme yang egoistik.
Penutup: Momen Reflektif dan Penuh Makna
Hari Tasyrik bukanlah sisa dari hari besar Idul Adha, tetapi merupakan perpanjangan ruhani dari semangat pengorbanan dan ketaatan. Ia mengajarkan bahwa setelah kita mengorbankan sesuatu yang berharga karena Allah, maka Allah gantikan dengan kelapangan hati, kenikmatan lahiriah, dan kedamaian batin.
Dalam Hari Tasyrik, kita tidak diminta untuk mengerem makan, tapi justru menikmatinya. Bukan karena kita rakus, tapi karena kita sadar bahwa semua nikmat ini adalah bagian dari kasih sayang Allah yang harus disyukuri. Dan syukur itu bukan hanya di lisan, tetapi juga dengan berbagi, dengan menyadari nikmat, dan dengan tetap berdzikir dalam keadaan kenyang sekalipun.
Mari hidupkan Hari Tasyrik di lingkungan kita bukan hanya dengan makan dan minum, tetapi juga dengan memperbanyak dzikir, berbagi, dan menghadirkan suasana syukur dalam keluarga dan masyarakat. Sebab dalam syariat Islam, kenyang yang membawa kita kepada Allah jauh lebih mulia daripada lapar yang menjauhkan kita dari-Nya.
Wallohu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar