Tangan Kasar Hati Mulia




Sinopsis Novel 

Terik matahari menusuk kulit. Asap debu beterbangan di udara. Tapi Pak Rifa’i tetap mengayunkan cangkulnya, menggali tanah keras dengan napas terengah. Tangan kasarnya sudah terbiasa terluka. Tapi hatinya tetap kuat. Di balik peluh itu, ada satu niat suci: menafkahi keluarga dengan rezeki halal.

Di pinggir desa, di sebuah gubuk kecil berdinding anyaman bambu, Bu Aminah sibuk menyiapkan teh tawar dan sepiring singkong rebus. Senyumnya merekah saat melihat sosok suaminya pulang, langkahnya berat, tapi matanya tetap berbinar.

"Alhamdulillah, Bapak pulang. Silahkan singkongnya masih hangat."

Pak Rifa’i tersenyum lelah: 

"Terima kasih, Mak. Rezeki kecil ini, besar di mata Allah."

Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang bergoyang ditiup angin, Pak Rifa’i mengumpulkan ketiga anaknya. Ahmad, Fatimah, dan Hasan duduk bersila, wajah-wajah kecil mereka memandang penuh harap.

Pak Rifa’i menatap mereka satu per satu. Suaranya berat, tapi penuh cinta.

Pak Rifa'i berujar:

"Nak.. Ayah ini ga bisa kasih kalian emas, rumah besar, atau mobil mewah"

Iaa mengepalkan tangannya yang kasar dan pecah-pecah.

"Tapi Ayah mau kasih kalian pelajaran: jadilah manusia yang takut pada Allah, yang bermanfaat buat sesama."

Ahmad, si sulung, mengangkat kepalanya. Matanya berbinar, penuh semangat.

Ahmad menyahut:

"Insya Allah, yah! Ahmad mau 

 Jadi dokter, Ahmad mau bantu orang miskin berobat geratis!"

Fatimah menggenggam tangan adiknya, mengangguk penuh keyakinan.

Tidak ketinggalan Fatimah juga menyahut:

"Aku mau jadi guru yah! Mau ngajarin anak-anak mengaji, biar mereka mengerti Al-Qur'an!"

Hasan, si bungsu, ikut berseru, polos tapi sungguh-sungguh:

"Aku mau jadi insinyur Yah!, biar bisa bangunin rumah buat orang-orang miskin!"

Pak Rifa’i mendekap ketiga anaknya. Tubuhnya gemetar menahan haru. Air matanya menetes, membasahi pipi yang keras ditempa panas dan hujan.

Hari-hari berlalu.

Pak Rifa’i bekerja lebih keras dari biasanya. Siang jadi kuli bangunan di proyek desa. Malam mengantar Ahmad dan Fatimah mengaji ke surau tempat Ustaz Salam mengajar.

Ustadz Salam setelah selesai mengaji menepuk bahu pak Rifa'i.

"Sabar,vRif.. Allah tak akan sia-siakan usaha orang tua yang ikhlas!"

Pak Rifa’i tersenyum lelah: 

"Saya percaya, Ustaz. Walau tangan ini kasar... hati saya tetap berharap pada rahmat Allah."

Bu Aminah juga ikut berjuang, menjahit pakaian tetangga, menghemat seiris demi seiris uang receh untuk biaya sekolah.

Bahkan saat gubuk mereka bocor di musim hujan, Pak Rifa’i hanya membenarkannya dengan papan bekas dan semangat yang tak pernah usang.

Suatu sore, Ahmad pulang dari sekolah, napasnya memburu karena gembira.

"Ayah, Bu, Ahmad diterima beasiswa! Kuliah Kedokteran di Jogja, geratis semua yah!"

Pak Rifa’i mendadak berdiri. Tubuh tuanya bergoyang. Matanya berkaca-kaca. Ia memandang langit yang mulai jingga.

Pak Rifa'i berbisik lirih:

"Ya Allah, Terimakasih, ini semua dari-Mu"

Bu Aminah menangis dalam sujud syukur. Fatimah dan Hasan berpelukan girang.

Tahun-tahun berjalan.

Fatimah pun menyusul: lulus menjadi guru di sekolah desa.

Hasan meraih gelar insinyur terbaik di universitas negeri.

Hari itu, di acara wisuda Ahmad sebagai dokter, Pak Lurah, Ustaz Salam, dan Bang Tono hadir sebagai saksi kebanggaan.

Ahmad berdiri di atas podium. Ia menggenggam mikrofon, mencari sosok kedua orang tuanya di antara kerumunan.

Saat matanya bertemu dengan Pak Rifa’i dan Bu Aminah, suaranya bergetar.

"Hari ini... saya berdiri di sini bukan karena kehebatan saya. Tapi karena tangan-tangan kasar yang penuh doa... tangan seorang kuli bangunan... yang di mata Allah lebih mulia daripada tangan orang kaya yang sombong."

Tangis pecah di ruangan itu.

Pak Lurah mengusap matanya diam-diam. Bang Tono berdecak kagum. Ustaz Salam tersenyum penuh syukur.

Pak Rifa’i hanya menunduk, tak kuasa berkata-kata. Hatinya berdesir lembut seperti embusan angin sore.

Malam itu, di beranda rumah sederhana mereka, di bawah langit bertabur bintang, Ahmad duduk bersimpuh di hadapan ayahnya.

Dengan tangan gemetar, ia mencium tangan Pak Rifa’i yang penuh bekas luka kerja keras.

Ahmad menangis tersedu-sedu:

"Ayah.. kalau bukan karena ayah dan ibu... Kami tidak akan jadi apa-apa."

Pak Rifa’i mengusap kepala anaknya, tersenyum sambil menahan air mata.

"Bukan karena ayah dan ibu, Semua ini karena Allah. Kita cuma berusaha.

Tapi ingat, tangan yang jujur dan hati yang sabar, insya Allah akan dihormati oleh-Nya."

Di kejauhan, suara jangkrik bersenandung.

Di beranda kecil itu, ada kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan harta.

Ada tangan kasar... yang telah membangun surga kecil di bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar