Dari KKN ke Pelaminan

 


Desa Cimanis sore itu memeluk hangat senja dengan angin tipis yang meniup dedaunan jati. Rijal, mahasiswa tingkat akhir yang sedang menjalani KKN, berdiri di depan papan nam MI Al-Hidayah. Di hadapannya, puluhan mata kecil memandangnya—lucu, polos, dan lapar akan ilmu. Di antara mereka, seorang bocah perempuan dengan jilbab kebesaran selalu duduk paling depan, memperhatikan tanpa berkedip. Namanya Siti.

Sebulan Rijal dan teman-temannya mengabdi di desa itu. Ia mengajar, membantu warga, dan belajar mengenal kehidupan dari sisi yang tak diajarkan di kampus. Tapi dari semua aktivitasnya, yang paling membekas adalah mengajar di sekolah kecil itu. Suara-suara tawa anak-anak, cara mereka berebut menjawab soal, dan perhatian tak biasa dari Siti dan teman-temannya menjadi semacam getar halus yang menyusup ke dadanya.

Hari perpisahan datang juga. Rijal dan tim KKN mengabadikan kenangan dalam satu foto. Di antara anak-anak yang memeluknya, Siti berdiri di sisinya, memegang erat ujung jaket almamaternya. Ketika saatnya pamit, Siti bahkan menyembunyikan kunci motor Rijal. Bocah itu, entah sadar atau tidak, sedang menolak kenyataan: ia harus berpisah dengan guru kesayangannya.

Waktu berjalan cepat. Rijal kembali ke Cirebon, menyelesaikan studinya, dan menjalani hidup seperti biasa. Tentang Siti? Ia hanyalah potongan kenangan di sebuah desa, bagian dari masa lalu yang manis dan sederhana.

Namun, takdir memiliki rencana yang lebih panjang.

Tujuh tahun kemudian, Siti, yang kini duduk di bangku SMA, membuka Facebook dan terpaku pada satu foto. Wajah itu—meski dengan nama akun yang berbeda—tak mungkin ia lupa. Ia memberanikan diri mengirim pesan.

“Assalamualaikum, ini Kak Rijal, ya? Yang dulu KKN di MI Al-Hidayah?”

Balasan datang. Percakapan demi percakapan menyulut api kecil yang selama ini tertidur. Mereka saling bercerita, tertawa, dan menghidupkan kembali benih-benih lama yang kini tumbuh dalam bentuk yang lebih dewasa. Ketika akhirnya mereka bertemu pada 2020, tak ada lagi yang duduk di bangku depan kelas, tak ada papan tulis atau kapur. Yang ada hanya dua insan yang pernah singgah dalam hidup satu sama lain, kini dipertemukan kembali.

Namun cinta, seperti hidup, tak selalu sederhana.

Rijal hampir saja tak sampai ke pelaminan. Pada suatu Senin pagi, ia diajak seorang teman untuk ngopi di Kafe Tinggalah Kenangan, sebuah tempat yang menghadap lembah kecil di Cirebon. Aneh, pikirnya. Ia tak biasa menolak ajakan semacam itu. Tapi hari itu, entah mengapa, ia menolak. Beberapa menit kemudian, bumi berguncang. Kafe yang nyaris ia datangi lenyap, tertimbun longsor.

Ketika hidup memberinya kesempatan kedua, Rijal tahu ia tak boleh menunda. Desember 2022, ia meminang Siti.

Kini, Siti sedang mengandung tujuh bulan. Di dalam rahimnya, tumbuh kehidupan baru—buah dari cinta yang dirajut dari waktu yang panjang, dari kenangan yang tak pernah benar-benar hilang.

Rijal tak pernah menyangka, gadis kecil yang dulu mencuri kunci motornya akan menjadi kunci kebahagiaannya hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar