Setiap musim haji, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci, menyatu dalam pakaian ihram yang sama, melafalkan niat yang sama, dan menapaki manasik yang sama. Namun, dari seluruh rangkaian ibadah haji yang penuh makna itu, terdapat satu ritual yang justru terkesan paling sederhana secara fisik, tetapi menyimpan makna terdalam secara spiritual: tahallul. Ia adalah simbol berakhirnya larangan-larangan ihram dan penanda bahwa seorang haji telah menyelesaikan satu fase besar perjalanan ibadahnya.
Secara terminologis, tahallul berasal dari kata hallala–yuhallilu–tahallulan yang berarti "menjadi halal" atau "bolehnya kembali melakukan hal-hal yang sebelumnya diharamkan selama ihram"[1]. Dalam konteks ibadah haji, tahallul merujuk pada prosesi mencukur atau memotong rambut sebagai bentuk penyelesaian sebagian besar rangkaian manasik haji. Ulama membagi tahallul menjadi dua: tahallul awal (pertama), yang terjadi setelah melempar jumrah, menyembelih hewan kurban, dan mencukur rambut; serta tahallul tsani (kedua), yang dilakukan setelah thawaf ifadhah dan sa’i, menandai kembalinya seluruh kehalalan yang sebelumnya dilarang[2].
Syari’at yang Sarat Makna
Dari sisi hukum Islam, tahallul memiliki kedudukan penting. Menurut mayoritas ulama, tahallul merupakan wajib haji, bahkan menurut sebagian madzhab seperti Hanafi dan Maliki, termasuk dalam rukun haji yang jika ditinggalkan, ibadah hajinya tidak sah[3]. Rasulullah ﷺ sendiri mempraktikkan tahallul pada Haji Wada’ dengan mencukur seluruh rambutnya setelah menyelesaikan manasik[4]. Beliau juga mendoakan tiga kali lipat kebaikan bagi orang yang mencukur rambut dibandingkan mereka yang hanya memotong sebagian rambut (taqsir)[5].
Dari sini kita memahami bahwa tahallul bukanlah sekadar tindakan simbolik, melainkan bagian dari struktur ibadah haji yang memiliki dimensi hukum dan spiritual. Ia menandai titik balik—bahwa setelah semua rukun dan wajib haji dijalani, seseorang kini diperbolehkan kembali ke dalam kehidupan normalnya, namun dalam kondisi ruhani yang telah dimurnikan oleh ibadah.
Sunah Nabi dan Keteladanan Kesederhanaan
Menarik untuk dicermati bahwa Rasulullah ﷺ tidak hanya menetapkan tahallul sebagai syariat, tetapi juga memberi keteladanan dalam pelaksanaannya. Dalam hadits riwayat Muslim, disebutkan bahwa saat Haji Wada’, Rasulullah ﷺ mencukur rambutnya, bukan sekadar memotongnya, padahal mencukur rambut secara total (halq) tidak diwajibkan, hanya disunnahkan. Namun hal ini menunjukkan bahwa beliau ingin mengajarkan nilai keikhlasan dan ketundukan penuh dalam menyempurnakan ibadah.
Rasulullah ﷺ bahkan tiga kali mendoakan mereka yang mencukur rambut, sebelum kemudian baru mendoakan mereka yang hanya memendekkan rambut[6]. Dalam perspektif ini, mencukur habis rambut menjadi simbol "penyucian total", melepaskan semua sisa-sisa keangkuhan, kecantikan, dan kebanggaan duniawi. Ia menjadi latihan kerendahan hati di hadapan Allah, setelah seorang hamba mendekatkan diri-Nya melalui wukuf, thawaf, sa’i, dan melontar jumrah.
Simbol Transformasi Diri
Dalam makna yang lebih mendalam, tahallul mengandung nilai simbolik sebagai transformasi spiritual. Ia adalah penanda bahwa seseorang telah selesai menempuh satu fase besar perjalanan hidupnya—bertemu Allah di Arafah, mengikis dosa di Muzdalifah, melempar godaan setan di Mina, dan kini, dengan kepala tunduk, bersedia mencukur identitas lamanya demi lahir sebagai manusia baru.
Proses tahallul tidak hanya memotong rambut, tetapi juga seharusnya memotong keinginan duniawi yang melalaikan, memotong ambisi egoistik yang membutakan, dan memotong kedekatan kita dengan hal-hal yang menjauhkan dari Allah. Ia adalah bentuk “spiritual detox” yang membawa pesan penting: pulang dari haji bukan berarti kembali menjadi manusia biasa, tetapi kembali menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya menulis bahwa ibadah-ibadah besar seperti haji tidak hanya berhenti pada tataran amal lahiriah, melainkan bertujuan membentuk pribadi mukmin yang tangguh, tunduk total kepada Allah, dan siap kembali ke masyarakat dengan misi perbaikan[7]. Maka, tahallul adalah momen di mana seorang hamba secara simbolis dan konkret menanggalkan semua kepalsuan hidup, dan memulai hidup baru dengan kesadaran tauhid yang lebih murni.
Penutup: Dari Ritual ke Realitas
Tahallul adalah ujung dari manasik, tapi seharusnya menjadi awal dari sebuah babak baru kehidupan. Ia mengajarkan kita bahwa transformasi sejati harus diawali dengan keberanian untuk meninggalkan yang lama dan membangun yang baru. Seorang haji yang pulang dari Tanah Suci dengan kepala bersih bukan hanya membawa gelar, tetapi membawa tanggung jawab—bahwa perubahan tidak cukup dirasakan di Mekah, tetapi harus dijalankan di rumah dan di tengah masyarakat.
Jika setelah tahallul, kita masih kembali pada sikap buruk, kesombongan, dan kemaksiatan yang lama, maka barangkali yang tercukur hanyalah rambut, bukan hawa nafsu. Maka mari kita hayati tahallul bukan sekadar syariat atau sunah, tapi simbol perubahan total, a point of no return menuju diri yang lebih suci dan lebih berarti.
Wallohu a'lam
Daftar Footnote:
[1] Al-Munawwir, A.W., Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 285.
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), hlm. 108–110.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 502.
[4] HR. Muslim no. 1305.
[5] HR. Muslim, no. 1303: "Ya Allah, rahmatilah mereka yang mencukur rambut mereka," diulang tiga kali, lalu setelah itu baru mendoakan yang memotong rambut.
[6] Ibid.
[7] Sayyid Quthb, Fi Zilal al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Shuruq, 2001), tafsir Surah Al-Hajj ayat 27–29.
Ini tulisan terkeren yang pernah sy baca. Congratulation prof mustofa
BalasHapusTerima kasihku babangku
BalasHapus